0
[postlink]http://indahnyajadisantri.blogspot.com/2011/09/hanya-tinggal-klik-dapat-uang.html[/postlink]hanya tinggal klik dapat uang
0
[postlink]http://indahnyajadisantri.blogspot.com/2011/09/bossclix.html[/postlink]bossclix.com
0
[postlink]http://indahnyajadisantri.blogspot.com/2011/09/cara-mudah-dapat-uang-di-internet.html[/postlink]cara mudah dapat uang di internet
0
[postlink]http://indahnyajadisantri.blogspot.com/2011/09/dajjal.html[/postlink]


SIFAT-SIFAT DAJJAL DAN HADITS-HADITS YANG BERKENAAN DENGANNYA

Oleh: Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabil MA


Dajjal adalah seorang laki-laki dari anak Adam yang memiliki sejumlah sifat sebagaimana dalam beberapa hadits agar manusia mengetahuinya dan berhati-hati terhadapnya, sehingga apabila kelak ia muncul maka orang-orang mukmin dapat me-ngenalnya serta tidak terfitnah olehnya.

Sifat-sifat inilah yang membedakannya dari manusia lainnya sehingga tidak tertipu olehnya kecuali orang yang jahil yang bakal celaka. Kita memohon keselamatan kepada Allah.

Di Antara Sifat-Sifat Dajjal
Dia adalah seorang muda yang berkulit merah, pendek, berambut keriting, dahinya lebar, pundaknya bidang, matanya yang sebelah kanan buta, dan matanya ini tidak menonjol keluar juga tidak tenggelam, seolah-oleh buah anggur yang masak (tak bercahaya) dan matanya sebelah kiri ditumbuhi daging yang tebal pada sudutnya. Di antara kedua matanya terdapat tulisan huruf kaf, fa', ra' secara terpisah, atau tulisan "kafir" secara bersambung / berangkai, yang dapat dibaca oleh setiap muslim yang bisa menulis maupun yang tidak bisa menulis. Dan di antara tandanya lagi ialah mandul, tidak punya anak.

Berikut ini beberapa hadits shahih yang menyebutkan ciri-ciri tersebut, yang juga merupakan dalil akan munculnya Dajjal:

[1]. Dari Umar Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Artinya : Ketika saya sedang tidur, saya bermimpi melakukan thawaf di Baitullah.... " Lalu beliau mengatakan bahwa beliau melihat Isa Ibnu Maryam 'alaihissalam, kemudian melihat Dajjal dan menyebutkan ciri-cirinya dengan sabdanya: "Dia itu seorang laki-laki yang gemuk, berkulit merah, berambut keriting, matanya buta sebelah, dan matanya itu seperti buah anggur yang masak' (tak bersinar). " Para sahabat berkata, "Dajjal ini lebih menyerupai Ibnu Qathn [1] , seorang laki-laki dari Khuza'ah." [Shahih Bukhari, Kitabul Fitan, Bab Dzikrid.Dajjal 13: 90: Shahih Muslim, Kitabul Iman, Bab Dzikril Masih Ibni Maryam 'alaihissalam wal-Masihid Dajjal 2: 237].

[2]. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebut-nyebut Dajjal di hadapan orang banyak, lalu beliau bersabda:
"Artinya : Sesungguhnya Allah Ta'ala itu tidak buta sebelah matanya. Ketahuilah. sesungguhnya Al-Masih Ad-Dajjal itu buta.sebelah matanya yang kanan, seakan-akan matanya itu buah anggur yang tersembul. " [Shahih Bukhari, Kitabul Fitan. Bab Dzikrid Dajjal 13: 90; dan Shahih Muslim, Kitabul Fitan wa Asy-rothis Sa'ah, Bab Dzikrid Dajjal 18: 59].


[3]. Dalam hadits An-Nawwas bin Sam'an Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah saw bersabda dalam menyifati Dajjal, bahwa dia adalah seorang muda yang berambut sangat keriting (kribo), sebelah matanya tak bercahaya, mirip dengan Abdul 'Uzza bin Qathan. [Shahih Muslim, Kitabul Fitan wa Asyrothis Sa'ah, Bab Dzikrid Dajjal 18: 65].

[4]. Menurut hadits yang diriwayatkan dari Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Artinya : Sesungguhnya Masih Dajjal itu seorang lelaki yang pendek dan gemuk, berambut kribo, buta sebelah matanya, dan matanya itu tidak menonjol serta tidak tenggelam. Jika ia memanipulasi kamu, maka ketahuilah bahwa Rabbmu tidak buta sebelah matanya." [Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud 11: 443. Hadits ini derajatnya shahih. Periksa: Shahih Al-Jami' Ash-Shaghir 2: 317-318, hadits nomor 2455].

[5]. Dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Artinya : Adapun Masih kesesatan itu adalah buta sebelah matanya. Lebar jidatnya, bidang dadanya bagian atas dan bengkok " [Musnad Imam Ahmad 15: 28-30 dengan tahqiq dan syarah Ahmad Syakir. Dia berkata, "Isnadnva shahih. " hadits ini juga dihasankan oleh Ibnu Katsir. Periksa: An-Nihayah Fil Fitan wai Malahim 1: 130 dengan tahqiq DR. Thaha Zaini].

[6]. Dalam hadits Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Artinya : Dajjal itu buta matanya sebelah kiri dan lebat rambutnya. " [Shahih Muslim. Kitabul Fitan wa Asyrothis Sa'ah, Bab Dzikrid Dajjal 18: 60-61].

[7]. Dalam hadits Anas Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Artinya : Dan di antara kedua matanya termaktub tulisan "kafir" [Shahih Bukhari, Kitabul Fitan, Bab Dzikrid Dajjal 13: 91; dan Shahih Muslim, Kitabul Fitan wa Asyrothus Sa'ah, Bab sa’ah, bab Dzikrid Dajjal 18: 59].

Dan dalam satu riwayat disebutkan:
"Kemudian beliau mengejanya –kaf fa ra- yang dapat dibaca oleh setiap muslim. " [Shahih Muslim 18: 59].

Dan dalam satu riwayat lagi dari Hudzaifah:
"Dapat dibaca oleh setiap orang mukmin, baik ia tahu tulis baca maupun tidak. " [Shahih Muslim 18: 61].

Tulisan ini (yang ada di antara kedua mata Dajjal) adalah hakiki, sesuai dengan lahirnya, dan tidak sukar untuk diketahui oleh sebagian orang (yang muslim) dan tidak diketahui oleh sebagian orang lagi (yakni orang kafir) [2] bahkan orang muslim yang buta huruf pun dapat membacanya. Hal ini disebabkan kemampuan memandang itu diciptakan oleh Allah bagi hamba-Nya bagaimana dan kapan saja ia berkehendak. Tulisan ini dapat diketahui oleh mukmin dengan pandangan matanya, meskipun dia tidak kenal tulis- menulis, dan tidak dapat diketahui oleh kafir sekalipun dia tahu baca tulis. sebagaimana halnya orang mukmin dapat mengetahui bukti-bukti kekuasaan Allah dengan pandangan matanya sedangkan orang kafir tidak mengetahuinya. Maka Allah menciptakan pengetahuan bagi orang mukmin tanpa mengalami proses belajar mengajar. sebab pada zaman itu memang terjadi hal-hal yang luar biasa. [Fathul-Bari 13: 100].

Imam Nawawi berkata, "Pendapat yang dipegang oleh para muhaqiq ialah bahwa tulisan ini nampak secara lahir dan hakiki (sebenamya) sebagai suatu tanda dan alamat yang diciptakan oleh Allah di antara sejumlah alamat atau tanda-tanda yang menunjukkan dengan qath’i akan kekafiran, kebohongan, dan kebatilannya (Dajjal). Dan tanda-tanda ini dinampakkan oleh Allah kepada setiap orang muslim yang tahu tulis baca maupun yang tidak tahu tulis baca, dan disembunyikannya untuk orang yang dikehendaki-Nya akan celaka dan terfitnah. Dan hal ini tidak dapat dihalangi sama sekali. " [Syarah Shahih Muslim oleh Imam Nawawi 18: 60]

[8]. Dan di antara sifat-sifatnya (ciri-cirinya) lagi ialah seperti yang disebutkan dalam hadits Fathimah binti Qais ra mengenai kisah Al-Jasasah yang di dalam kisah (riwayat) itu Tamim Ad-Dari ra berkata. ".... Lain kami berangkat dengan segera sehingga ketika kami sampai di biara tiba-tiba di sana ada seorang yang sangat besar (hebat) dan diikat sangat erat...." [Shahih Muslim. Kitabul Fitan wa Asy-rothis Sa'ah, Bab Qishshotil Jasasah 18: 81].

[9]. Dalam hadits Imron bin Husein Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda:
"Artinya : Semenjak diciptakannya Adam hingga datangnya hari kiamat tidak ada makhluk yang lebih besar[3] daripada Dajjal. " [Shahih Muslim 18: 86-87].

[10]. Dajjal tidak punya keturunan, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Abi Sa'ad Al-Khudri ra dalam kisahnya bersama Ibnu Shayyad. Kata Ibnu Shayyad kepada Abu Sa'id, "Saya bertemu orang banyak dan mereka mengira saya ini Dajjal. Bukankah Anda pernah mendengar Rasulullah saw bersabda bahwa Dajjal tidak punya anak (keturunan)?" Abu Sa'id menjawab, "Betul" Ibnu Shayyad berkata lagi," Padahal saya punya anak...." [Shahih Muslim, Kitabul Fitan wa Asyrothis Sa'ah, Bab Dzikri Ibnu Shayyad 18: 50].

Perlu diperhatikan bahwa dalam riwayat-riwayat di muka disebutkan bahwa Dajjal itu buta matanya yang sebelah kanan. sedangkan pada riwayat yang lain disebutkan bahwa matanya yang butanya adalah sebelah kiri. padahal semua riwayat itu shahih ini merupakan suatu kemusykilan. Ibnu Hajjar berpendapat bahwa hadits Ibnu Umar yang tercantum dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim yang menyifati Dajjal buta matanya yang sebelah kanan adalah lebih kuat daripada riwayat Muslim yang mengatakan bahwa yang buta adalah matanya sebelah kiri, sebab hadits yang disepakati shahihnya oleh Bukhari dan Muslim Iebih kuat daripada lainnya. [Fathul-Bari 13: 97]

Al-Qadhi‘ Iyadh berpendapat bahwa kedua belah mata Dajjal itu cacat. sebab semua riwayatnya shahih. Yang satu tidak bercahaya (ath-thafi’ah, dengan memakai huruf hamzah) yakni buta, dan ini untuk mata yang sebelah kanan sebagaimana. disebutkan dalam hadits Ibnu Umar. Dan matanya yang sebelah kiri ditumbuhi oleh daging pada sudutnya yang dapat menutupi sebagian atau seluruh lensanya (ath-thafiyah) dengan menggunakan huruf ya'), dan ini yang dimaksud dengan buta matanya sebelah kiri. Jadi masing-masing mata Dajjal itu cacat. yang satu tidak dapat melihat sama sekali dan satunya cacat dengan ditumbuhi daging. Imam Nawawi mengomentari jalan jama' (kompromi) seperti yang dikemukakan Qadhi 'iyadh itu sangat bagus (Syarah Muslim 2: 235) dan dikuatkan pula oleh Abu Abdillah Al-Qurthubi [At-Tadzkirah: 663].



[Disalin dari kitab Asyratus Sa'ah edisi Indonesia Tanda-Tanda Hari Kiamat, Penulis Yusuf bin Abdullah bin Yusuf Al-Wabl MA, Penerjemah Drs As'ad Yasin, Penerbit CV Pustaka Mantiq]
_________
Foote Note
[1]. Ibnu Qathan: namanya Abdul 'Uzza bin Qathan bin Amr Al- Khuza'i. Ada yang mengatakan bahwa dia itu berasal dari kalangan Bani Musthaliq dari suku Khuza'ah. Ibunya bernama Halah binti Khuwailid. Ibnu Qathan tidak memiliki hubungan kesahabatan dengan Rasululiah saw karena dia telah meninggal pada zaman jahiliah. Adapun tambahan riwayat yang mengatakan bahwa dia pemah bertanya kepada Nabi saw, "Apakah keserupaannya denganku itu membahayakan bagiku?" Lalu Nabi menjawab, "Tidak, engkau muslim sedang dia kafir" adalah tambahan yang dha'if dari riwayat Al-Mas'udi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, yang dicampur dengan hadits lain. Periksa: Ta'liq Ahmad Syakir atas musnad Ahmad 15: 30-31; Al-lshobah Fi Tamyizish-Shahabah 4: 239, dan Fathul-Bari 6: 488 dan 13: 101).
[2]. Berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa ini adalah majaz sebagai penanda zaman. Dan ini adalah pendapat yang lemah. Periksa: Syarah Muslim oleh An-Nawawi 18: 60-61; dan Fat-hul-Bari 13: 100.
[3]. Dalam Catalan kaki Shahih Muslim 4: 2267 terbitan Maktabah DaWan -Indonesia dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "lebih besar" di sini ialah lebih besar fitnah dan bahayanya / perusakannya. (Penj).

dajjal

0
[postlink]http://indahnyajadisantri.blogspot.com/2011/09/zaid-bin-haritz.html[/postlink]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri melepas balatentara Islam yang akan berangkat menuju medan perang Muktah, melawan orang-orang Romawi. Beliau mengumumkan tiga nama yang akan memegang pimpinan dalam pasukan secara berurutan, sabdanya:
"Kalian semua berada di bawah pimpinan Zaid bin Haritsah! Seandainya ia tewas, pimpinan akan liambil alih oleh Ja'far bin Abi Thalib; dan seandainya Ja'far tewas pula, maka komando hendaklah dipegang oleh Abdullah ibnul Ra wahah ".
Siapakah Zaid bin Haritsah itu? Bagaimanakah orangnya? Siapakah pribadi yang bergelar "Pencinta Rasulullah ltu"'
Tampang dan perawakannya biasa saja, pendek dengan kulit coklat kemerah-merahan, dan hidung yang agak pesek. Demikian yang dilukiskan oleh ahli sejarah dan riwayat. Tetapi sejarah hidupnya hebat dan besar.
Sudah lama sekali Su'da isteri Haritsah berniat hendak berziarah ke kaum keluarganya di kampung Bani Ma'an. Ia sudah gelisah dan seakan-akan tak shabar lagi menunggu waktu keberangkatannya. Pada suatu pagi yang cerah, suaminya ialah ayah Zaid, mempersiapkan kendaraan dan perbekalan untuk keperluan itu. Kelihatan Su'da sedang menggendong anaknya yang masih kecil, Zaid bin Haritsah. Di waktu ia akan menitipkan isteri  dan  anaknya  kepada  rombongan  kafilah  yang  akan berangkat bersama dengan isterinya, dan ia harus menunaikan tugas pekerjaannya, menyelinaplah rasa sedih di hatinya, disertai perasaan aneh, menyuruh agar ia turut serta mendampingi anak dan isterinya. Akhirnya perasaan gundah itu hilang jua. Kafilah pun mulai bergerak memulai perjalanannya meninggalkan kampung itu, dan tibalah waktunya bagi Haritsah untuk mengucapkan selamat jalan bagi putera dan isterinya ....
Demikianiah, ia melepas isteri dan anaknya dengan air mata berlinang. Lama ia diam terpaku di tempat berdirinya sampai keduanya lenyap dari pandangan. Haritsah merasakan hatinya tergoncang, seolah-olah tidak berada di tempatnya yang biasa.
Ia hanyut dibawa perasaan seolah-olah ikut berangkat bersama rombongan kafilah.
Setelah beberapa lama Su'da berdiam bersama kaum keluarganya di kampung Bani Ma'an,.hingga di suatu hari, desa itu dikejutkan oleh serangan gerombolan perampok badui yang menggerayangi desa tersebut.
Mampung itu habis porak poranda, karena tak dapat mempertahankan diri. Semua milik yang berharga dikuras habis dan penduduk yang tertawan digiring oleh para perampok itu sebagai tawanan, termasuk si kecil Zaid bin Haritsah. Dengan perasaan duka kembalilah ibu Zaid kepada suaminya seorang diri.
Demi Haritsah mengetahui kejadian tersebut, ia pun jatuh tak sadarkan diri. Dengan tongkat di pundaknya ia berjalan mencari anaknya. Kampung demi kampung diselidikinya, padang pasir dijelajahinya. Dia bertanya pada kabilah yang lewat, kalau-kalau ada yang tahu tentang anaknya tersayang dan buah hatinya  "Zaid"
Tetapi usaha itu tidak berhasil. Maka bersyairlah ia menghibur diri sambil menuntun untanya, yang diucapkannya dari lubuk perasaan yang haru:
"Kutangisi Zaid, ku tak tahu apa yang telah terjadi,
Dapatkah ia diharapkan hidup, atau telah mati.
Demi AIlah ku tak tahu, sungguh aku hanya bertanya.
Apakah di lembah ia celaka atau di bukit ia binasa.
Di kala matahari terbit ku terkenang padanya.
BiIa surya terbenam ingatan kembali menjelma.
Tiupan angin yang membangkitlkan kerinduan pula,
Wahai, alangkah lamanya duka nestapa diriku jadi merana"
Perbudakan sudah berabad-abad dianggap sebagai suatu keharusan yang dituntut oleh kondisi masyarakat pada zaman itu. Begitu terjadi di Athena Yunani, begitu di kota Roma, dan begitu pula di seantero dunia, dan tidak terkecuali di jazirah Arab sendiri.
Syahdan di kala kabilah perampok yang menyerang desa Bani Ma'an berhasil dengan rampokannya, mereka pergi menjualkan barang-barang dan tawanan hasil rampokannya ke pasar 'Ukadz yang sedang berlangsung waktu itu. Si kecil Zaid dibeli oleh Hakim bin Hizam dan pada kemudian harinya ia memberikannya kepada mak ciknya Siti Khadijah. Pada waktu itu Khadijah radliyallahu 'anha telah menjadi isteri Muhammad bin abdillah (sebelum diangkat menjadi Rasul dengan turunnya wahyu yang pertama).Sementara pribadinya yang agung, telah memperlihatkan segala sifat-sifat kebesaran yang istimewa, yang dipersiapkan Allah untuk kelak dapat diangkat-Nya sebagai Rasul-Nya.
Selanjutnya Khadijah memberikan khadamnya Zaid sebagai pelayan bagi Rasulullah. Beliau menerimanya dengan segala senang hati, lalu segera memerdekakannya. Dari pribadinya yang besar dan jiwanya yang mulia, Zaid diasuh dan dididiknya dengan segala kelembutan dan kasih sayang seperti terhadap anak sendiri.
Pada salah satu musim haji, sekelompok orang-orang dari desa Haritsah berjumpa dengan Zaid di Mekah. Mereka menyampaikan kerinduan ayah bundanya kepadanya. Zaid balik menyampaikan pesan salam serta rindu dan hormatnya kepada kedua;orang tuanya. Katanya: kepada para hujjaj atau jamaah haji itu, tolong beritakan kepada kedua orang tuaku, bahwa aku di sini tingal bersama seorang ayah yang paling mulia.
Begitu ayah Zaid mengetahui di mana anaknya berada, segera ia mengatur perjalanan ke Mekah, bersama seorang saudaranya. Di Mekah keduanya langsung menanyakan di mana rumah Muhammad al-Amin (Terpercaya). Setelah berhadapan muka dengan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, Haritsah berkata: "Wahai Ibnu Abdil Mutthalib ..., wahai putera dari pemimpin kaumnya!
Anda termasuk penduduk Tanah Suci yang biasa membebaskan orang tertindas, yang suka memberi makanan para tawanan ....
Kami datang ini kepada anda hendak meminta anak kami. Sudilah kiranya menyerahkan'anak itu kepada kami dan bermurah hatilah menerima uang tebusannya seberapa adanya?"
Rasulullah sendiri mengetahui benar bahwa hati Zaid telah lekat dan terpaut kepadanya, tapi dalam pada itu merasakan pula hak seorang ayah terhadap anaknya. Maka kata Nabi kepada Haritsah: "Panggillah Zaid itu ke sini, suruh ia memilih sendiri. Seandainya dia memilih anda,maka akan saya kembalikan kepada anda tanpa tebusan. Sebaliknya jika ia memilihku, maka demi Allah aku tak hendak menerima tebusan dan tak akan menyerahkan orang yang telah memilihku!"
Mendengar ucapari Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang demikian, wajah Haritsah berseri-seri kegembiraan, karena tak disangkanya sama sekali kemurahan hati seperti itu, lalu ucapnya:  "Benar-benar anda telah menyadarkan kami dan anda beri pula keinsafan di balik kesadaran itu!"
Kemudian Nabi menyuruh seseorang untuk memanggil Zaid. Setibanya di hadapannya, beliau langsung bertanya: "Tahukah engkau siapa orang-orang ini?" "Ya, tahu", jawab Zaid, "Yang ini ayahku sedang yang seorang lagi adalah pamanku".
Kemudian Nabi mengulangi lagi apa yang telah dikatakannya kepada ayahnya tadi, yaitu tentang kebebasan memilih orang yang disenanginya.
Tanpa berfikir panjang, Zaid menjawab: "Tak ada orang pilihanku kecuali anda! Andalah ayah, dan andalah pamanku!"
Mendengar itu, kedua mata Rasul basah dengan gir mata, karena rasa syukur dan haru. Lain dipegangnya tangan Zaid, dibawanya ke pekarangan Ka'bah, tempat orang-orang Quraisy sedang banyak berkumpul, lain serunya:
"Saksikan oleh halian semua, bahwa mulai saat ini, Zaid adalah anakku ... yang akan menjadi ahli warisku dan aku jadi ahli warisnya':
Mendengar itu hati Haritsah seakan-akan berada di awang-awang karena suka citanya, sebab ia bukan saja telah menemukan kembali anaknya bebas merdeka tanpa tebusan, malah sekarang diangkat anak pula oleh seseorang yang termulia dari suku Quraisy yang terkenal dengan sebutan "Ash-Shadiqul Amin", -- Orang lurus Terpercaya --, keturunan Bani Hasyim, tumpuan penduduk kota Mekah seluruhnya.
Maka kembalilah ayah Zaid dan pamannya kepada kaumnya dengan hati tenteram, meninggalkan anaknya pada seorang pemimpin kota Mekah dalam keadaan aman sentausa, yakni sesudah sekian lama tidak mengetahui apakah ia celaka terguling di lembah atau binasa terkapar di bukit.
Rasulullah telah mengangkat Zaid sebagai anak angkat...,
maka menjadi terkenallah ia di seluruh Mekah dengan nama "Zaid bin Muhammad" ....
Di suatu hari yang cerah seruan wahyu yang pertama datang kepada sayidina Muhammad:
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang telah menciptakan ! la telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang telah mengajari manusia dengan kalam (pena).
Mengajari manusia apa-apa yang tidah diketahuinya. (Q.S. 96 al-'Alaq; 1 -- 5)
Kemudian susul-menyusul datang wahyu kepada Rasul dengan kalimatnya:
Wahai orang yang berselimut! Bangunlah (siaphan diri), sampaikan peringatan (ajaran Tuhan). Dan agungkan Tuhanmu. (Q.S. 74 al-Muddattsir: 1 - 3)
Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.' Dan jika tidah kamu laksanakan, berarti kamu telah menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah akan melindungimu dari (kejahatan manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir. (Q.S. 5 al-Maidah: 67)
Maka tak lama setelah Rasul memikul tugas kerasulannya dengan turunnya wahyu itu, jadilah Zaid sebagai orang yang kedua masuk Islam ...,bahkan ada yang mengatakan sebagai orang yang pertama.
Rasul sangat sayang sekali kepada Zaid. Kesayangan Nabi itu  memang  pantas dan wajar, disebabkan kejujurannya yang tak  ada  tandingannya,  kebesaran  jiwanya,  kelembutan  dan kesucian hatinya,  disertai terpelihara lidah  dan tangannya.
Semuanya itu atau yang lebih dari itu menyebahkan Zaid punya kedudukan tersendiri sebagai "Zaid Kesayangan" sebagaimana yang telah dipanggilkan shahabat-shahabat Rasul kepadanya. Berkatalah Saiyidah Aisyah radhiyallah 'anha .: "Setiap Rasulullah mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh Zaid, pastilah ia yang selalu diangkat Nabi jadi pemimpinnya. Seandainya ia masih hidup sesudah Rasul, tentulah ia akan diangkatnya sebagai khalifah!"
Sampai ke tingkat inilah kedudukan Zaid di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam  Siapakah sebenamya Zaid ini?
Ia sebagai yang pernah kita katakan, adalah seorang anak yang pernah ditawan, diperjual-belikan, lalu dibebaskan Rasul dan dimerdekakannya. Ia seorang laki-laki yang berperawakan pendek, berkulit coklat kemerahan, hidung pesek; tapi ia adalah manusia yang berhati mantap dan teguh serta berjiwa merdeka.
Dan karena itulah ia mendapat tempat tertinggi di dalam Islam dan di hati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena Islam dan Rasulnya tidak sedikit juga mementingkan tuah kebangsawanan dan turunan darah, dan tidak pula menilai orang dengan predikat-predikat lahiriahnya. Maka di dalam keluasan faham Agama besar inilah cemerlangnya nama-nama seperti Bilal, Shuhaib, 'Ammar, Khabbab, Usamah dan Zaid. Mereka semua punya kedudukan yang gemilang, baik sebagai orang-orang shaleh maupun sebagai pahlawan perang.
Dengan tandas Islam telah mengumandangkan dalam kitab sucinya al-Quranul Karim tentang nilai-nilai hidup:
"Sesungguhnya semulia-mulia kalian di sisi Allah, ialah yang paling taqwa!"  (Q.S. 49 al-Hujurat: 13)
Islamlah Agama yang membukakan segala pintu dan jalan untuk mengembangkan berbagai bakat yang balk dan cara hidup yang suci, jujur dan direstui Allah ....
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menikahkan Zaid dengan Zainab anak makciknya. Ternyata kemudian kesediaan Zainab memasuki tangga perkawinan dengan Zaid, hanya karena rasa enggan menolak anjuran dan syafa'at Rasulullah, dan karena tak sampai hati  menyatakan  enggan  terhadap  Zaid sendiri. Kehidupan rumah tangga dan perkawinan mereka yang tak dapat bertahan lama, karena tiadanya tali pengikat yaitu cinta yang ikhlas karena Allah dari Zainab, sehingga berakhir dengan perceraian. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengambil tanggung jawab terhadap rumah tangga Zaid yang telah pecah itu. Pertama merangkul Zainab dengan menikahinya sebagai isterinya, kemudian mencarikan isteri baru bagi Zaid dengan mengawinkannya dengan Ummu Kaltsum binti 'Uqbah.
Disebabkan peristiwa tersebut di atas terjadi kegoncangan dalam masyarakat kota Madinah. Meueka melemparkan kecaman, kenapa Rasul menikahi bekas isteri anak angkatnya?
Tantangan dan kecaman ini dijawab Allah dengan wahyu-Nya, yang membedakan antara anak angkat dan anak kandung atau annak adaptasi dengan anak sebenamya, sekaligus membatalkan adat kebiasaan yang berlaku selama itu. Pernyataan wahyu itu berbunyi sebagai berikut:
Muhammad bukanlah bapah dari seorang laki-laki (yang ada bersama) kalian. Tetapi ia adalah Rasul Allah dan Nabipenutup. (Q.S. 33 al-Ahzab: 40)
Dengan demikian kembali Zaid dipanggil dengan namanya semula "Zaid bin Haritsah"
Dan sekarang ....
Tahukah anda bahwa kekuatan Islam yang pernah maju medan perang "Al-Jumuh" komandannya adalah Zaid bin Haritsah? Dan kekuatan-kekuatan lasykar Islam yang bergerak maju ke medan pertempuran at-Tharaf, al-'Ish, al-Hismi dan lainnya, panglima pasukannya, adalah Zaid bin Haritsah juga?
Begitulah sebagaimana yang pernah kita dengar dari Ummil Mu'minin 'Aisyah radhiyallah 'anha tadi: "Setiap Nabi mengirimkan Zaid dalam suatu pasukan, pasti ia yang diangkat jadi pemimpinnya'"
Akhirnya datanglah perang Muktah yang terkenal itu ....
Adapun orang-orang Romawi dengan kerajaan mereka yang telah tua bangka, secara diam-diam mulai cemas dan takut terhadap kekuatan Islam, bahkan mereka melihat adanya bahaya besar yang dapat mengancam keselamatan dan wujud mereka.
Terutama di daerah jajahan mereka Syam (Syria) yang berbatasan dengan negara dari Agama baru ini, yang senantiasa bergerak maju dalam membebaskan negara-negara tetangganya dari cengkeraman penjajah. Bertolak dari pikiran demikian, mereka hendak mengambil Syria sebagai batu loncatan untuk menaklukkan jazirah Arab dan negeri-negeri Islam.
Gerak-gerik orang-orang Romawi dan tujuan terakhir mereka yang hendak menumpas kekuatan Islam dapat tercium oleh Nabi. Sebagai seorang ahli strategi, Nabi memutuskan untuk mendahului mereka dengan serangan mendadak daripada diserang di daerah sendiri, dan menyadarkan mereka akan keampuhan perlawanan Islam.
Demikianlah, pada bulan Jumadil Ula, tahun yang kedelapan Hijrah tentara Islam maju bergerak ke Balqa' di wilayah Syam.
Demi mereka sampai di perbatasannya, mereka dihadapi oleh tentara Romawi yang dipimpin oleh Heraklius, dengan mengerahkan juga kabilah-kabilah atau suku-suku badui yang diam di perbatasan. Tentara Romawi mengambil tempat di suatu daerah yang bernama Masyarif, sedang lasykar Islam mengambil posisi di dekat suatu negeri kecil yang bernama Muktah, yang jadi nama pertempuran ini sendiri.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui benar arti penting dan bahayanya peperangan ini. Oleh sebab itu beliau sengaja memilih tiga orang panglima perang yang di waktu malam bertaqarrub mendekatkan diri kepada Ilahi, sedang di siang hari sebagai pendekar pejuang pembela Agama. ?Tiga orang pahlawan yang siap menggadaikan jiwa raga mereka kepada Allah, mereka yang tiada berkeinginan kembali, yang bercita-cita mati syahid dalam perjuangan menegakkan kalimah Allah. Mengharap semata-mata ridla ilahi dengan menemui wajah-Nya Yang Maha Mulia kelak ....
Mereka yang bertiga secara berurutan memimpin tentara itu ialah: Pertama Zaid bin Haritsah, kedua Ja'far bin Abi Thalib dan ketiga 'Abdullah bin Rawahah, moga-moga Allah ridla kepada mereka dan menjadikan mereka ridla kepada-Nya, serta Allah meridlai pula seluruh shahabat-shahabat yang lain ....
Begitulah apa yang kita saksikan di permulaan ceritera ini, sewaktu berangkat Rasul berdiri di hadapan pasukan tentara Islam yang hendak berangkat itu. Rasul melepas mereka dengan amanat: "Kalian harus tunduk kepada Zaid bin Haritsah sebagai pimpinan, seandainya ia gugur pimpinan dipegang oleh Ja'far bin Abi Thalib, dan seandainya Ja'far gugur pula, maka tempatnya diisi oleh 'Abdullah bin Rawahah!"
Sekalipun Ja'far bin Abi Thalib adalah orang yang paling dekat kepada Rasul dari segi hubungan keluarga, sebagai anak pamannya sendiri .... Sekalipun keberanian ketangkasannya tak diragukan lagi, kebangsawanan dan turunannya begitu pula, namun ia hanya sebagai orang kedua sesudah Zaid, sebagai panglima pengganti, sedangkan Zaid beliau angkat sebagai panglima pertama pasukan.
Beginilah contoh dan teladan yang diperlihatkan Rasul dalam mengukuhkan suatu prinsip. Bahwa Islam sebagai suatu Agama baru mengikis habis segala hubungan lapuk yang didasarkan pada darah dan turunan atau yang ditegakkan atas yang bathil dan rasialisme, menggantinya dengan bubungan baru yang dipimpin oleh hidayah ilahi yang berpokok kepada hakekat kemanusiaan ....
Dan seolah-olah Rasul telah mengetahui secara ghaib tentang pertempuran yang akan berlangsung, beliau mengatur dan menetapkan susunan panglimanya dengan tertib berurutan: Zaid, lalu Ja'far, kemudian Ibnu Abi Rawahah. Ternyata ketiga mereka menemui Tuhannya sebagai syuhada sesuai dengan urutan itu pula!
Demi Kaum Muslimin melihat tentara Romawi yang jumlahnya menurut taksiran tidak kurang dari 200.000 orang, suatu jumlah yang tak mereka duga sama sekali, mereka terkejut.
Tetapi kapankah pertempuran yang didasari iman mempertimbangkan jumlah bilangan?
Ketika itulah ..., di sana, mereka maju terus tanpa gentar, tak perduli dan tak menghiraukan besarnya musuh .... Di depan sekali kelihatan dengan tangkasnya mengendarai kuda, panglima mereka Zaid, sambil memegang teguh panji-panji Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maju menyerbu laksana topan, di celah-celah desingan anak panah, ujung tombak dan pedang musuh. Mereka bukan hanya semata-mata mencari kemenangan, tetapi lebih dari itu mereka mencari apa yang telah dijanjikan Allah, yakni tempat pembaringan di sisi Allah, karena sesuai dengan firman-Nya:
"Sesungguhnya Allah telak membeli jiwa dan harta orang-orang Mu inin dengan surga sebagai imbalannya. (Q.S. 9 at-Taubah: 111)
Zaid tak sempat melihat pasir Balqa', bahkan tidak pula keadaan bala tentara Romawi, tetapi ia langsung melihat keindahan taman-taman surga dengan dedaunannya yang hijau berombak laksana kibaran bendera, yang memberitakan kepadanya, bahwa itulah hari istirahat dan kemenangannya.
Ia telah terjun ke medan laga dengan menerpa, menebas, membunuh atau dibunuh. Tetapi ia tidaklah memisahkan kepala musuh-musuhnya, ia hanyalah membuka pintu dan menembus dinding, yang menghalanginya ke kampung kedamaian, surga yang kekal di sisi Allah ....
Ia telah menemui tempat peristirahatannya yang akhir.
Rohnya yang melayang dalam perjaianannya ke surga tersenyum bangga melihat jasadnya yang tidak berbungkus sutera dewangga, hanya berbalut darah suci yang mengalir di jalan Allah.
Senyumnya semakin melebar dengan tenang penuh nikmat, karena melihat panglima yang kedua Ja'far melesit maju ke depan laksana anak panah lepas dari busurnya. untuk menyambar panji-panji yang akan dipanggulnya sebelum Jatuh ke tanah….

zaid bin haritz

0
[postlink]http://indahnyajadisantri.blogspot.com/2011/09/blogger-buzz-important-note-about.html[/postlink]kunjungi indahnyajadisantri.blogspot.com

Blogger Buzz: An important note about legacy accounts

0
[postlink]http://indahnyajadisantri.blogspot.com/2011/09/tokoh-ulama.html[/postlink]
Pada masa-masa terakhir ini kaum harakiyun hizbiyun (para penganut
paham
hizbiyah), berusaha menampilkan tokoh-tokoh idola mereka sebagai ulama.
Dan
ini masih sebagai gerakan talbis (pengkaburan) yang terus mereka
lancarkan
di kalangan kaum Muslimin untuk menghalangi mereka dalam memahami Islam
yang
benar. Dari sisi ini tidak salah kalau mereka dihukumi sebagai ahlul
bid'ah
walau hukum ini tidak bisa diterapkan pada semua individu yang terlibat
dalam gerakan tersebut. Para tokoh harakiyun hizbiyun yang digelari
ulama
oleh mereka itu sesungguhnya bukanlah ulama, tetapi hanya terbatas
sebagai
para pemikir atau dengan istilah lain sebagai ahlur ra'yi.

SIAPAKAH ULAMA

Untuk mengetahui lebih lanjut sejauh mana bahaya talbis yang
dilancarkan
oleh mereka, kita perlu mengerti definisi ulama dan ahlur ra'yi dan
kedudukannya masing-masing di dalam agama ini. Sedangkan untuk mengerti
dengan pasti dan jelas permasalahan ini, kita merujuk kepada Al Qur'an
dan
Al Hadits dengan keterangan para ulama Salafus Shalih dan Ahlul Hadits.

Allah Subhanahu wa Ta'ala menegaskan tentang siapa yang dinamakan
ulama,
antara lain dalam firman-Nya :

"Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari dari hamba-hamba-Nya
hanyalah
ulama." (Fathir : 28)

Al Imam Ath Thabari dalam tafsirnya meriwayatkan keterangan Ibnu Abbas
radhiallahu 'anhu tentang ayat ini. Beliau mengatakan bahwa pengertian
ulama
dalam ayat ini ialah : 'Orang-orang yang mengetahui dengan ilmu,
bahwasannya
Allah itu Maha Kuasa atas segala sesuatu.' (Tafsir Ath Thabari jilid 10
hal.
409)

Al Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Anshari Al Qurthubi
memperjelas
penafsiran Ibnu Abbas tersebut di atas dengan menyatakan : '... siapa
yang
telah tahu dengan yakin bahwa Allah 'Azza wa Jalla Maha Berkuasa,
niscaya
dia yakin bahwa Allah Maha Kuasa untuk menghukum hamba-Nya yang berbuat
maksiat.'

Kemudian beliau membawakan beberapa penafsiran para tabi'in tentang
definisi
ulama yang disebut dalam ayat ini. Beliau mengatakan :

Berkata Ar Rabi' bin Anas :

"Barangsiapa yang tidak takut kepada Allah, maka dia bukanlah orang
yang
berilmu (ulama)."

Berkata Mujahid (beliau ini murid Ibnu Abbas) :

"Sesungguhnya yang dikatakan orang yang berilmu (yakni ulama) hanyalah
orang
yang takut kepada Allah 'Azza wa Jalla."

"Sesungguhnya yang dikatakan orang yang 'mengerti' hanyalah yang takut
kepada Allah."

Pernah ditanyakan kepada Sa'ad bin Ibrahim : "Siapakah yang paling
mengerti
tentang agama di kota Madinah?" Dijawab oleh beliau : "Yaitu yang
paling
bertakwa kepada Tuhan-nya 'Azza wa Jalla." (Tafsir Al Qurthubi jilid 6
hal.
5425)

Al Hafidh Ibnu Katsir menambahkan :

"Dan diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud --semoga Allah meridhainya--,
bahwasannya
beliau menerangkan :

"Tidaklah yang dikatakan ilmu itu dari banyaknya hadits (yang
diriwayatkan),
akan tetapi yang dikatakan ilmu adalah dari banyaknya rasa takut kepada
Allah."

Kemudian Ibnu Katsir membawakan keterangan Sufyan Ats Tsauri dari Abi
Hayyan
At Tamimi bahwa yang dikatakan ulama itu tiga golongan :

Ulama yang berilmu tentang Allah dan tentang agama Allah.

Ulama yang berilmu tentang Allah tetapi kurang mengerti agama-Nya.

Ulama yang berilmu tentang agama Allah, tetapi tidak berilmu tentang
Allah.

Maka orang yang berilmu tentang Allah dan agama-Nya ialah orang yang
takut
kepada Allah, mengerti halal dan haram serta memahami apa yang
diwajibkan
oleh Allah. Sedangkan yang berilmu tentang Allah tetapi kurang mengerti
agama-Nya adalah yang mempunyai rasa takut kepada Allah tetapi kurang
mengerti syariat-Nya. Adapun yang mengerti agama Allah tetapi tidak
berilmu
tentang Allah ialah yang mengerti ilmu syariah tetapi tidak mempunyai
rasa
takut kepada Allah 'Azza wa Jalla. (Tafsir Ibnu Katsir jilid 3 hal.
554)

Perkataan Abu Hayyan At Tamimi ini diriwayatkan juga dengan sanad yang
lengkap dan shahih oleh Ibnu Abdil Bar dalam Kitab Jami' Bayanul Ilmi
wa
Fadlihi, jilid 2 hal. 48.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan tafsir ayat di
atas
sebagai berikut : "Ayat ini menunjukkan bahwa tidaklah takut kepada
Allah
kecuali orang yang berilmu. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
memberitakan bahwa semua yang mempunyai rasa takut kepada Allah itu
adalah
orang yang berilmu, hal ini sebagaimana firman-Nya :

"(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang
yang
beribadat di waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut
dengan
(adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhan-Nya? Katakanlah : Apakah
sama
orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu?" (Az
Zumar :
9)

Al Khasyyah (rasa takut) selamanya selalu mengandung raja' (harapan),
sebab
kalau khasyyah tidak mengandung raja', niscaya hanya akan melahirkan
keputusasaan. Dan Ar Raja' harus mengandung Al Khasyyah, sebab kalau
tidak
demikian akan menimbulkan perasaan aman dari ancaman adzab Allah
(ketika
berbuat maksiat, pent.). Oleh sebab itu, orang yang mempunyai rasa
takut dan
harapan kepada Allah, mereka inilah sesungguhnya ulama yang dipuji
Allah."
(Majmu' Fatawa. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jilid 7 hal. 21)

Inilah pengertian 'ulama' sebagaimana diterangkan oleh para shahabat
dan
tabi'in serta para ulama ahli hadits ketika menafsirkan firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala di surat Fathir 28.

Kemudian kita lengkapi definisi ulama di atas dengan menengok sebuah
hadits
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :

"Akan terus menerus membawa ilmu ini disetiap generasi orang-orang
terpecaya
pada generasi itu, mereka (pembawa ilmu agama ini) akan membantah
penyimpangan orang-orang yang melampaui batas dan kedustaan orang-orang
yang
mengikuti kebathilan dan penafsiran orang-orang bodoh." (HR. Ibnu Adi
dalam
Kitab Al Kamil jilid 1 hal. 145-148. Dan diriwayatkan pula oleh para
Imam
yang lainnya seperti Baihaqi dan lain-lain)

Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam kitab beliau Miftah Darus Sa'adah (Jilid
1
hal. 497-500) membawakan dengan lengkap berbagai riwayat sanad hadits
tersebut dan penilaian beberapa imam ahlul hadits tentang keshahihan
hadits
ini dan kehasanannya. Imam Ahmad bin Hambal menshahihkan hadits ini,
juga Al
Hafidh Al Ala'iy dalam Kitab Bughyatul Multamas menshahihkan sebagian
sanad-sanad hadits ini. Syaikh Al Albani cenderung menshahihkan hadits
ini
dalam Misykatul Mashabih jilid 1 hal. 82-83. Dan Syaikh Ali Hasan Abdul
Hamid cenderung menghasankan hadits ini dalam catatan kaki Kitab Miftah
Darus Sa'adah jilid 1 hal. 500.

Adapun pengertian hadits ini ialah sebagaimana yang diterangkan oleh
para
ulama ahlul hadits sebagai berikut :

1. Al Hafidh Ibnu Abdil Bar menerangkan : "Setiap orang yang membawa
ilmu
ini (yakni ilmu Al Kitab dan As Sunnah) dan dikenal mempunyai perhatian
terhadap ilmu ini, maka dia itu orang yang terpecaya dan senantiasa
dianggap
terpecaya sampai terbukti secara ilmiah ada cercaaan terhadapnya,
barulah
gugur kedudukannya sebagai orang yang terpecaya. Demikian pengertian
sabda
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tersebut." (Muqaddimah Ibnus Shalah
fi
Ulumil Hadits, Al Imam Abu Amr Utsman Asy Syahrazuri Ibnu As Shalah,
hal.
50)

2. Ibnu Qayim menerangkan : "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
memberitahukan bahwa ilmu yang beliau ajarkan akan terus dibawa oleh
orang-orang terpecaya dari umatnya pada setiap generasi sehingga ilmu
ini
tidak hilang dan sirna. Ini menunjukkan kepercayaan beliau Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam kepada pembawa ilmu tersebut. Maka orang yang membawa
ilmu
ini, tidak boleh tidak, mesti orang yang terpecaya. Karena itu, telah
dikenal di kalangan umat Islam bahwa orang-orang terpecaya yang
menyampaikan
ilmu ini memiliki kredibilitas dan popularitas yang dapat menepis
segala
kebimbangan dan keraguan terhadap kejujuran mereka. Maka tidak
diragukan
lagi, siapa yang telah dipercaya oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam, tidak dapat diterima cercaan yang ditujukan kepadanya. Maka
para
Imam yang terkenal dalam bidang ilmu Nabawi warisan beliau Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam di kalangan umat ini, semuanya adalah orang-orang
terpecaya. Oleh karena itu, tidak bisa diterima kritikan sebagian
mereka
atas sebagian yang lainnya. Hal ini tidak berlaku bagi orang-orang yang
terkenal sebagai orang tercela di kalangan umat ini (yakni kalangan
ulamanya, pent.) seperti imam-imam ahli bid'ah dan orang-orang yang
menempuh
jalan mereka. Mereka bukanlah pembawa ilmu (yakni bukan ulama, pent.)
bagi
umat ini.

Dengan demikian, orang-orang yang membawa ilmu warisan Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mesti dikenal sebagai orang yang
terpecaya
agamanya. Akan tetapi sering pengertian orang yang terpecaya dalam
agamanya
ini disalahartikan, seolah-olah sebagai orang-orang yang tidak
mempunyai
dosa sama sekali (ma'sum). Padahal tidaklah demikian. Pengertiannya
ialah :
Mereka ini adalah orang-orang yang terpecaya dalam menyampaikan agama,
walaupun padanya ada kesalahan-kesalahan yang dia selalu bertaubat
kepada
Allah. Kesalahan-kesalahan ini tidak menggugurkan sifatnya sebagai
orang
terpecaya dalam menyampaikan agama, sebagaimana tidak gugur keimanaan
dan
kewalian seseorang dengan kesalahan-kesalahan semacam itu." (Miftah
Darus
Sa'adah jilid 1 hal. 495-496)

3. Al Imam As Suyuthi menerangkan : "Makna hadits ini ialah bahwa ilmu
ini
diambil dari orang yang terpecaya dalam agamanya pada setiap generasi,
maka
hadits ini memerintahkan kita untuk mengambil ilmu ini dari orang-orang
yang
terpecaya agamanya dan terkenal pula ketepatannya dalam penyampaian."
(Tadribur Rawi. As Suyuthi. Juz 1 hal. 304)

Demikian keterangan para ulama ahlul hadits tentang pengertian hadits
tersebut. Keterangan yang satu dengan keterangan lainnya saling
melengkapi.
Maka orang yang terpecaya dalam agamanya adalah orang yang selamat dari
tuduhan kesesatan atau orang yang telah dipercaya oleh para ulama dalam
penyampaian ilmu agama dan tidak pernah tertuduh berkhianat dalam
penyampaiannya.

Bila kita simpulkan dari berbagai keterangan para ulama dalam
menafsirkan
surat Fathir 28 dan hadits tersebut di atas, maka definisi ulama itu
adalah
: "Orang-orang yang telah mengenal Allah dengan ilmu syariat-Nya,
sehingga
dengan pengenalan dan ilmunya ini, ia menjadi orang yang paling takut
kepada
Allah dan paling menggantungkan harapannya kepada-Nya semata. Mereka
adalah
orang-orang yang terpecaya --dalam penyampaian agama-- dan jauh dari
kemungkinan penyimpangan dan pengkhianatan terhadap pemahaman yang
benar.
Mereka adalah orang-orang yang menumpahkan segenap perhatiannya
terhadap
ilmu Al Qur'an dan Al Hadits dan menjaganya dengan sebaik-baiknya
sehingga
ilmu ini tetap terpelihara dengan sempurna dari generasi ke generasi
sesuai
dengan yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka telah
mendapat kepercayaan dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan
kemudian para shahabatnya dan kemudian para ulama ahlul hadits dalam
perkara
ilmu agama ini."

Maka dengan definisi ini, kita yakin bahwa yang dinamakan ulama itu
hanyalah
dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah dan tidak dinamakan ulama bila
dari
kalangan ahlul bid'ah. Oleh karena itu, Abul Faraj Ibnul Jauzi
rahimahullah
menegaskan : "Tidak diragukan lagi bahwa para ahli periwayatan hadits
dan
atsar (mereka yang mengikuti perikehidupan Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa
Sallam dan para shahabatnya), mereka adalah Ahlus Sunnah. Karena mereka
berjalan di atas jalan yang tidak terjadi bid'ah padanya, karena bid'ah
itu
muncul setelah jamannya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan
para
shahabatnya." (Talbis Iblis hal. 16)

SIAPAKAH PEMIKIR ITU ?

Adapun pemikir atau yang diistilahkan dengan ahlur ra'yi ialah
sebagaimana
diterangkan oleh Al Imam Abu Muhammad Abdullah bin Muslim Qutaibah
(wafat
376 H) rahimahullah :

"Setelah aku mempelajari berbagai pendapat ahlul kalam (yakni para
pakar
ilmu kalam)[1], ternyata aku dapati mereka berbicara tentang Allah
dengan
apa yang mereka tidak tahu, dan menimpakan fitnah kepada kaum Muslimin
yaitu
dengan fitnah penggolongan yang mereka buat (yakni penggolongan bid'ah,
pent.). Mereka dapat melihat sedikit kotoran di mata kaum Muslimin,
padahal
di depan mata mereka (ada kotoran sebesar) pelepah pohon kurma. Mereka
terus
menerus mempunyai sangkaan buruk pada orang yang meriwayatkan
hadits[2].
Tetapi mereka tidak pernah mempunyai kecurigaan terhadap pikiran mereka
dalam perkara ta'wil[3]." (Ta'wil Mukhtalafil Hadits. Halaman 20)

Berbicara tentang agama Allah dengan apa yang mereka tidak tahu,
maksudnya
berbicara tentang agama tanpa menengok Al Qur'an dan Al Hadits. Mereka
berbicara dari pikirannya semata, kemudian pikiran itu diyakini
kebenarannya. Selanjutnya mereka mencari pembenaran terhadap pikiran
tersebut dengan dalil dari Al Qur'an dan Al Hadits untuk dipaksakan dan
ditafsirkan sesuai dengan pikirannya. Bahkan menolak keduanya jika
bertentangan dengan pikirannya. Mereka menimpakan fitnah atas kaum
Muslimin
dengan menggolong-golongkan mereka dengan penggolongan bid'ah, seperti
yang
terjadi sekarang ini. Mereka memilah orang-orang yang mempelajari Islam
dalam dua golongan, yaitu tekstual dan kontekstual. Golongan tekstual
ialah
mereka yang hanya terpaku dengan teks-teks (nash-nash) Al Qur'an dan Al
Hadits serta perkataan ulama terdahulu. Mereka ini dianggap berpikir
mandek
(jumud) dan hanya membebek kepada pemahaman ulama terdahulu. Atau
dengan
istilah yang lebih tajam, orang masa lalu yang hidup di masa kini.
Semuua
ini sebagai ejekan terhadap Ahlul Hadits. Sedangkan golongan
kontekstual
adalah golongan yang memahami Islam dengan pemahaman kekinian dan
merujuk
kepada konteks kehidupan masa kini sehingga mereka menyuguhkan
pemahaman
yang penuh terobosan baru dan perspektif jauh ke depan. Semua ini
adalah
sanjungan bagi para pemikir atau para ahli kalam atau juga ahlir ra'yi.

Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah menerangkan tiga model ra'yu
(pikiran)
dalam memahami Islam, agar dengan keterangan beliau ini kita dapat
mengetahui di mana sesungguhnya letak para ulama dan di mana letak para
pemikir dalam menggunakan ra'yu ketika memahami agama ini. Beliau
menerangkan : "Yang dikatakan ra'yu itu ada tiga model, yaitu :

1. Ra'yu yang bathil dan tidak diragukan lagi kebathilannya.

2. Ra'yu yang benar.

3. Ra'yu yang ada kesamaran padanya (antara yang bathil dan yang benar,
pent.)

Tiga model ra'yu ini telah diisyaratkan Salafus Shalih. Mereka
menggunakan
ra'yu yang benar, beramal dengannya, dan berfatwa dengannya pula. Juga
mereka cenderung berbicara tentang agama dengannya. Di samping itu,
mereka
mencela ra'yu yang bathil dan melarang untuk beramal, berfatwa serta
memutuskan perkara dengannya. Bahkan mereka melontarkan cercaan
terhadapnya
dan terhadap orang-orang yang memakai ra'yu bathil ini. Adapun ra'yu
yang
ketiga, mereka cenderung beramal, berfatwa, dan memutuskan perkara
dengannya
ketika dalam keadaan terpaksa di saat sudah tidak ada jalan lain
kecuali
itu. Walaupun demikian, mereka tidak mengharuskan seorang pun beramal
dengan
ra'yu-nya ini dan tidak melarang orang lain menyelisihinya. Orang lain
yang
menyelisihi dalam perkara ra'yu model ketiga ini tidak dianggap sebagai
orang yang menyelisihi agama. Bahkan dalam menilai pendapat mereka pada
ra'yu model ini, penilaian tertinggi adalah dengan mempersilahkan umat
memilih antara menerima atau menolaknya. Maka ra'yu model ini
kedudukannya
adalah sebagaimana makanan dan minuman yang diharamkan (boleh dimakan
atau
diminum dalam keadaan darurat). Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh
Imam
Ahmad : "Aku bertanya kepada Imam Syafi'i tentang Qiyas[4]. Maka beliau
mengatakan kepadaku : 'Boleh dipakai bila dalam keadaan darurat (yakni
terpaksa dan tidak ada jalan lain, pent.).' ". Demikian Ibnul Qayyim
menerangkan.

Kemudian beliau melengkapi penjelasannya dengan merinci jenis-jenis
ra'yu
yang bathil, yaitu :

1. Ra'yu yang menyelisihi dalil (Al Qur'an dan Al Hadits). Ini adalah
perkara yang telah diketahui dengan pasti dalam agama Islam (tentang
kerusakannya) dan kebathilannya. Maka tidak boleh seseorang berfatwa
dengan
ra'yu ini dan tidak boleh pula memutuskan suatu perkara dengannya.

2. Berbicara tentang agama dengan dugaan dan sangkaan disertai sikap
melampaui batas atau mengentengkan dalam mengenali dan memahami dalil
serta
dalam istinbat (yakni mengambil kesimpulan) hukum-hukum dari dalil itu.
Karena barang siapa tidak mengerti dalil dan mengambil qiyas dengan
akalnya
untuk menjawab (tanpa ilmu) pertanyaan yang diajukan kepadanya, maka
sungguh
dia telah terjatuh pada ra'yu yang tercela dan bathil.

3. Ra'yu yang menyebabkan gugurnya keimanan kepada nama-nama Allah dan
sifat-sifat-Nya serta pebuatan-perbuatan-Nya, dengan qiyas yang bathil
yang
telah diletakkan dasar-dasarnya oleh ahli bid'ah yang sesat dari
kalangan
Jahmiyah[5], Mu'tazilah[6], Qadariyah[7] dan yang menyerupai mereka.
Yaitu
dengan mengutamakan ra'yu atas wahyu (yakni Al Qur'an dan Al Hadits)
dan
mengutamakan hawa nafsu daripada akal sehat.

4. Ra'yu yang menjadi akar berkembangnya berbagai bid'ah, dirubahnya
berbagai sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, penyebab
meratanya
malapetaka, dan menjadi dasar pembinaan/pendidikan anak-anak kecil
hingga
mereka dewasa (yakni pikiran bathil yang diwarisi turun temurun dari
nenek
moyang, pent.)

5. Berbicara tentang hukum-hukum agama dengan istihsan (anggapan baik,
pent.) dan sangkaan dan menyibukkan diri dengan perkara yang
memberatkan dan
kabur serta mencocokkan perkara cabang dengan perkara cabang yang
lainnya
melalui qiyas tanpa menunjukkannya pada perkara pokok dan tanpa
meneliti
sebab hukumnya serta acuannya. Akibatnya digunakanlah pikiran sebelum
turunnya wahyu (ini dijaman hidupnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam, pent.), atau berbicara bertele-tele tentang hukum satu masalah
yang
belum terjadi. Sehingga pembicaraan tentangnya dengan ra'yu yang
dibangun
atas dasar dhan (sangkaan). Para ulama Salaf mengatakan : "Menyibukkan
diri
dengan perkara yang demikian dan mendalaminya adalah berarti
menelantarkan
ilmu dan pengamalan sunnah-sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
dan
menimbulkan kebodohan tentang sunnah tersebut, serta tidak lagi menahan
diri
untuk berbicara atau berbuat dalam perkara yang Al Qur'an dan Al Hadits
mengharuskan kita menahan diri padanya."

Empat macam ra'yu pertama di atas telah disepakati oleh Salafus Shalih
dan
para imam untuk mencelanya dan mengeluarkannya dari agama. Sedangkan
ra'yu
yang kelima masih diperbincangkan oleh ulama.

Demikian saya ringkaskan dari keterangan Ibnul Qayyim tentang
jenis-jenis
ra'yu dari kitab beliau I'lamul Muwaqi'in jilid 1 hal. 67-69.

Dengan penjelasan tersebut di atas kita dapat mengerti bahwa para
pemikir
(ahlur ra'yi) itu adalah mereka yang memahami agama ini dengan salah
satu
dari lima macam ra'yu yang bathil tersebut. Kemudian agar para pembaca
tidak
salah paham, seolah-olah Salafus Shalih mengharamkan ra'yu secara
keseluruhan, maka saya sertakan pula keterangan Ibnul Qayyim dari kitab
yang
sama hal. 79-85, sebagai berikut :

Ra'yu yang terpuji itu (yakni yang benar, pent.) ada beberapa macam :

1. Ra'yu para shahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang
kedudukan
mereka demikian mulia di sisi Allah dan Rasul-Nya. Imam Syafi'i
rahimahullah
menerangkan dalam risalah Bagdadi-nya yang diriwayatkan oleh Al Hasan
bin
Muhammad Az Za'farani : "Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuji
para
shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di dalam Al Qur'an,
Taurat, dan Injil. Dan telah disebutkan melalui lisan Rasulullah
Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam keutamaan mereka yang tidak diberikan kepada siapapun
sesudah mereka. Semoga rahmat Allah tercurah atas mereka dan selamatlah
atas
mereka dengan anugerah keutamaan yang mengantarkan mereka kepada
kedudukan
pada shiddiqin[8], syuhada[9], dan shalihin[10]. Mereka telah
menyampaikan
kepada kita sunnah-sunnah (ajaran-ajaran) Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa
Sallam. Mereka telah menyaksikan wahyu turun kepada beliau, sehingga
mereka
mengerti apa yang diinginkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
perkara umum, khusus, perintah wajib, atau anjuran yang bersifat
bimbingan,
dan mereka memahami sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam,
baik
yang kita pahami maupun yang tidak kita pahami. Sehingga mereka jauh di
atas
kita di dalam ilmu, ijtihad, wara'[11] akal, dan hal-hal yang dapat
dikenali
dengan ilmu dan istinbath dengannya. Pikiran (ra'yu) mereka lebih
terpuji
dan lebih utama dibanding pikiran kita. Dan orang-orang yang kami kenal
(dari keterangan para ulama), menceritakan kepada kami bahwa jika
mereka
(kaum Muslimin) tidak mendapatkan keterangan langsung dari sunnah
Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, mereka merujuk kepada ra'yu shahabat
(jika
mereka telah bersepakat). Atau memilih sebagian ra'yu shahabat yang
lebih
dekat kepada dalil (al haq). Inilah pernyataan kami. Dan apabila
pendapat
salah seorang shahabat itu tidak diselisihi oleh yang lain, maka kami
berpegang dengan pendapatnya." Demikian Imam Syafi'i menerangkan
kedudukan
para shahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.

Beliau juga menyatakan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ar Rabi' dari
beliau : "Bid'ah adalah apa-apa yang menyelisihi Kitab (yakni Al
Qur'an)
atau Sunnah (yakni Al Hadits) atau atsar (riwayat perkataan atau
perbuatan)
dari sebagian shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam."

Di dalam pernyataannya ini, Imam Syafi'i menghukumi segala yang
menyelisihi
pendapat shahabat adalah bid'ah.

Yang dimaksud dalam uraian Imam Syafi'i ini adalah tidak mungkin bagi
seseorang yang datang sesudah generasi shahabat disejajarkan dengan
mereka[12].Bagaimana mungkin disejajarkan dengan mereka, bila
kenyataannya
salah seorang dari mereka berpandangan dengan satu ra'yu kemudian turun
Al
Qur'an yang mencocoki ra'yu shahabi tersebut. Contohnya ialah ra'yu
Umar bin
Khattab tentang tawanan perang Badar. Dia berpandangan agar para
tawanan itu
dipenggal saja leher-leher mereka. Maka turunlah ayat Al Qur'an yang
mencocoki ra'yu beliau ini. Juga Umar mengemukakan ra'yunya agar para
istri
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berhijab. Kemudian turunlah ayat Al
Qur'an yang mencocokinya. Maka sepantasnyalah kalau orang-orang yang
setingkat ini ra'yunya dianggap lebih baik dari ra'yu kita. Bagaimana
tidak,
ra'yu mereka keluar dari hati yang penuh cahaya keimanan, hikmah, ilmu,
pengenalan dan pemahaman tentang Allah dan Rasul-Nya, dan hati mereka
penuh
ketulusan kepada umat. Hati mereka sepenuhnya mencocoki hati Nabi
mereka.
Tidak ada perantara antara mereka dengan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam.
Mereka mengambil ilmu dan iman dari lentera kenabian, dalam keadaan
dari
tangan pertama yang masih belum dikaburkan oleh kebid'ahan apapun. Maka
mengqiyaskan ra'yu shahabat dengan ra'yu selain mereka adalah
serusak-rusak
qiyas.

2. Ra'yu para ulama ahlul hadits yang mengambil kesimpulan makna
terhadap
satu ayat Al Qur'an atau hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
karena
telah meneliti banyak ayat dan hadits. Hal ini sebagaimana dinyatakan
oleh
Abdullah bin Al Mubarak[13] : "Hendaklah kamu bersandar kepada atsar
(yakni
Al Qur'an dan Al Hadits, pent.) dalam menafsirkannya. Inilah pemahaman
yang
Allah khususkan bagi siapa yang dikehendakinya dari hamba-hamba-Nya.

3. Ra'yu yang telah disepakati oleh ummat, yang diambil oleh khalaf
(ulama
belakangan) dari salaf (umat terdahulu generasi pertama yaitu para
shahabat
dan tabi'in). Karena ra'yu yang telah mereka sepakati pasti ra'yu yang
benar, seperti apabila mereka telah sepakat tentang kebenaran suatu
riwayat
hadits atau suatu mimpi. Hal ini pernah terjadi pada peristiwa beberapa
shahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang bermimpi bahwa
Lailatul
Qadar terjadi malam 27 Ramadhan. Maka Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam
menanggapi mimpi itu dengan sabdanya :

"Aku melihat mimpi kalian telah saling bersesuaian pada hari ketujuh
akhir
(yakni tanggal 27 Ramadhan, pent.)."

Di sini beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menganggap mimpi para
shahabat
sebagai patokan kaum Mukminin[14]. Maka umat ini ma'sum (terjaga dari
kesalahan) pada apa saja yang telah mereka sepakati, baik dalam perkara
periwayatan maupun dalam perkara mimpi (juga dalam perkara ra'yu,
pent.)[15]. Oleh karena itu, termasuk ra'yu yang benar dan tepat bila
ia
merupakan produk musyawarah di antara para ahlinya, dan tidak sebagai
ra'yu
yang ganjil. Dan sungguh Allah telah memuji kaum Mukminin bila urusan
mereka
itu dimusyawarahkan di kalangan mereka[16]. Al Humaidi telah
meriwayatkan
dari Sufyan dan dia meriwayatkan dari Asy Syaibani dan beliau dari Asy
Sya'bi yang menceritakan bahwa Umar bin Al Khattab menulis surat kepada
Asy
Syuraih (ia seorang qadli, pent.) yang bunyinya :

"Apabila muncul dihadapanmu suatu perkara yang harus engkau putuskan,
maka
telitilah hukumnya pada Kitabullah dan putuskanlah perkara itu
dengannya.
Tetapi bila tidak ada, maka putuskanlah dengan apa yang telah
diputuskan
oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Bila juga tidak terdapat
padanya, maka putuskanlah dengan apa yang telah diputuskan oleh
orang-orang
shalih dan para imam-imam yang adil. Kalau tidak didapati juga, maka
Anda
boleh memilih (antara dua) :

a. Bila Anda mau berijtihad dengan ra'yu Anda, silakan Anda berijtihad
dengannya.

b. Bila Anda mau bermusyawarah denganku, aku berpandangan bahwa yang
demikian ini mesti menjadi kebaikan bagi Anda. Wassalam."

4. Ra'yu yang dihasilkan dari upaya mempelajari ilmu yang ada dalam Al
Qur'an. Kalau tidak dapat, dicari dalam As Sunnah. Kalau tidak
diperoleh,
dicari pada apa yang telah diputuskan oleh para khalifah yang
terbimbing
(Khulafaur Rasyidin) atau salah satu dari mereka. Kalau tidak
diperoleh,
maka dicari pada apa yang diucapkan oleh salah seorang shahabat Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Bila tidak didapati juga, maka
diupayakan
ijtihad dengan ra'yu dan meneliti agar ijtihad itu menjadi pendapat
yang
paling dekat dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta keputusan
para
shahabat beliau. Maka inilah sesungguhnya ra'yu yang dipilih dan
digunakan
para shahabat. Mereka saling menyetujui dalam ra'yu yang demikian.
Demikian
Ibnul Qayyim menjelaskan.

Empat model ra'yu inilah yang dipakai oleh para ulama Ahlus Sunnah wal
Jamaah. Sedangkan para pemikir memakai lima model ra'yu yang jelek
sebagaimana tersebut sebelumnya. Maka yang dikatakan pemikir atau ahlur
ra'yu adalah mereka yang memahami agama dengan lima model ra'yu yang
bathil.

BEBERAPA SOSOK PEMIKIR YANG DIULAMAKAN

Setelah kita mengerti definisi ulama dan ahlur ra'yu (pemikir) serta
kedudukannya masing-masing dalam agama ini, kita bisa menyimpulkan
bahwa
talbis (pengkaburan) antara ulama dengan pemikir, berarti pula
mengkaburkan
siapa sesungguhnya yang membimbing umat kepada kebenaran agama ini.
Sikap
yang demikian, jelas merupakan pengkhianatan terhadap tanggung jawab
membimbing umat kepada kebenaran agama ini. Bisa jadi pengkhianatan
tersebut
disengaja dan bisa jadi pula tidak disengaja karena sangat kuatnya
upaya
pengkaburan yang demikian itu.

Maka untuk melengkapi keterangan tersebut di atas, saya bawakan
bukti-bukti
pengkaburan itu, yaitu beberapa tokoh pemikir terkenal yang sempat
dianggap
ulama dan memang diopinikan demikian di kalangan umat Islam. Saya
terangkan
di sini beberapa nama mereka sebagai peringatan bagi segenap pembaca
khususnya dan umat Islam umumnya dari bahaya kesesatan para pemikir
tersebut. Mereka ini ialah :

1. Jamaluddin Al Afghani, sosok pemikir yang sangat dielu-elukan
sebagai
tokoh pembebasan negeri-negeri Islam dari penjajahan Barat. Dia sangat
populer di kalangan kaum Muslimin karena beberapa sebab :

a. Dia banyak berkeliling di negeri-negeri pusat ilmu-ilmu dan ulama
Islam,
seperti Mesir, Persia, India Afghanistan, dan Turki.

b. Dia menerbitkan majalah berbahasa Arab yang bernama Al Urwatul
Wutsqa di
Paris (Perancis) yang beredar di seluruh negeri-negeri Muslimin di
dunia.

c. Dia banyak berbicara masalah yang kiranya dapat diterima oleh semua
kalangan umat Islam dari berbagai aliran pemahaman. Dia menghindari
berbicara masalah yang ada unsur pro dan kontra dalam perkara agama.

d. Dia muncul atau dimunculkan disaat segenap ahlul bid'ah dari
berbagai
aliran, yang mereka ini adalah mayoritas umat Islam di dunia, merasa
gelisah
dan resah dengan munculnya dakwah Salafiyah di Negeri Nejed dan Hijaz
yang
dipimpin oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan para
pelanjutnya sehingga Al Afghani segera disambut oleh umat yang sedang
resah
karena merasa terancam keberadaannya dengan bangkitnya dakwah Salafiyah
tersebut. Ia adalah tokoh alternatif yang mereka harapkan dapat
menandingi
popularitas Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Ini kesimpulan dari berbagai literatur yang memuji dan menyanjung tokoh
tersebut. Untuk itu saya bawakan di sini beberapa komentar para
pengagumnya
tentang sejarah hidupnya dan garis-garis perjuangannya. Para pengagum
tersebut adalah orang-orang yang berseberangan dengan Ahlus Sunnah wal
Jama'ah. Ini sekedar bukti bahwa Al Afghani sangat populer di kalangan
Ahlul
Bid'ah karena prinsip dan sikapnya yang ambivalen[17] itu.

Prof. Dr. Harun Nasution, seorang Qadari[18] kader orientalis,
menyatakan :
"Jamaluddin Al Afghani adalah seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam
yang
sempat tinggal dan aktifitasnya berpindah dari satu negara Islam ke
negara
Islam lainnya. Pengaruh terbesar ditinggalkannya di Mesir dan oleh
karena
itu bukanlah tidak pada tempatnya kalau uraian mengenai pemikiran dan
aktifitasnya dimasukkan ke dalam bagian tentang pembaharuan di Mesir.

Jamaluddin lahir di Afghanistan pada tahun 1839 dan meninggal dunia di
Istambul di tahun 1897."

Harun Nasution menyimpulkan beberapa prinsip Al Afghani antara lain
dari Al
Urwatul Wutsqa sebagai berikut :

"Paham Qadha dan Qadhar umpamanya, demikian Al Afghani, telah dirusak
dan
dirubah menjadi fatalisme yang membawa umat Islam kepada keadaan
statis.
Qadha dan Qadhar sebenarnya mengandung arti bahwa segala sesuatu
terjadi
menurut ketentuan sebab-musabab. Kemauan manusia merupakan salah satu
dari
mata rantai sebab musabab itu." (Pembaharuan dalam Islam ; Sejarah
Pemikiran
dan Gerakan. Prof. Dr. Harun Nasution. Hal 51-57)

Di sini Harun Nasution menyoroti sisi yang bersesuaian dengannya pada
prinsip Al Afghani, yaitu pengingkarannya pada rukun iman yang keenam,
yaitu
keimanan kepada taqdir Allah.

Dr. Jalaluddin Rahmat, seorang Rafidli[19], yang sangat bersemangat
memimpin
'studi politis'[20] terhadap sejarah Islam khususnya para shahabat Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dan juga terhadap tokoh-tokoh Ahlul
Hadits
dan karyanya khususnya Imam Bukhari dan Imam Muslim. Dia menyatakan :

"Jamaluddim Al Afghani memang seperti burung rajawali. Suatu hari ia
muncul
di Mesir, sepuluh hari kemudian berada di Paris, dan minggu-minggu
berikutnya berada di Ankara, Istambul, dan Kabul. Matanya yang tajam
memandang para raja dengan pandangan yang menaklukkan. Suaranya yang
berwibawa mengalirkan getaran listrik ke hati para pendengarnya. Lalu
apa
madzhab Jamaluddin? Mirza Luthfullah dari Iran menyebut Jamaluddin
bermadzhab Syiah. Hamka menulis : 'Barangklali hasil-hasil penyelidikan
ilmiyyah akan memenangkan bahan-bahan yang dikemukakan dari Iran itu.'
Syaikh Muhammad Abduh menyebut madzhab Hanafi sebagai madzhab gurunya.
Ketika Jamaluddin sendiri ditanya apa madzhab yang dianutnya,
Jamaluddin
menjawab : 'Aku adalah seorang Muslim.' " (Islam Aktual. Dr. Jalaluddin
Rahmat. Hal. 38-39)

Demikian kaum Rafidlah, juga mengelu-elukan Al Afghani dari sisi
sikapnya
yang mengambang dalam menegaskan pemahaman yang dianutnya pada agama
ini.

Dr. Nurcholis Majid, seorang Mu'tazili yang sangat gigih menyerukan
umat
kepada rasionalisasi agama[21] dan liberalisasi pemahaman[22]
menegaskan :
"Dengan perkataan lain, di antara semua penganut agama besar di muka
bumi
ini, para pemeluk Islam-lah yang paling rendah dan lemah dalam hal
sains dan
teknologi.

Sebetulnya keadaan yang memilukan itu tidak perlu terjadi kalau saja
umat
Islam, seperti diharapkan oleh para pembaharu pada peralihan abad yang
lalu,
khususnya Al Afghani dan Abduh, mampu menangkap kembali ajaran agamanya
yang
lebih dinamis, sekaligus lebih otentik." (Kaki Langit Peradaban Islam.
Dr.
Nurcholis Majid. Halaman 21-22)

Demikian kaum Mu'tazilah mengkeramatkannya sesuai dengan kecenderungan
yang
mereka lihat pada Al Afghani terhadap pemahaman mereka.

Maka untuk melengkapi wawasan kita tentang Al Afghani, saya bawakan di
sini
beberapa informasi akurat tentang pemikir tersebut, agar kita lebih
adil
dalam menilainya. Di antara para penulis tentang Al Afghani, antara
lain
ialah Musthafa Fauzi bin Abdul Lathif Ghazal yang membeberkan
prinsip-prinsip dakwah Al Afghani sebagai berikut :

a. Dakwah politik yaitu gerakan politik untuk memperjuangkan paham
liberalisme dan demokratisme Barat di kalangan berbagai pemerintah
Islam di
negara-negara Islam. Demikian menurut persaksian para muridnya seperti
Adib
Ishaq, Dr. Utsman Amin, dan Dr. Mahmud Qasim.

b. Seruan kepada westernisasi kehidupan dan pemahaman kaum Muslimin.
Ini
menurut persaksian para penggemarnya, seperti Dr. Ahmad Amin dalam
kitabnya
Al Mujaddidun fil Islam.

c. Seruan kepada kebebasan (liberalisasi), yaitu kebebasan berfikir dan
berakhlak dari ikatan agama. Sebagaimana hal ini diterangkan oleh
pengagumnya yaitu Dr. Muhammad Husein.

d. Seruan persatuan tiga agama samawi, yaitu Islam, Nashara, dan
Yahudi.
Demikian diceritakan Dr. Ammarah dengan menambahkan bahwa persatuan di
sini
bukan hanya pengakuan hak masing-masing, tetapi juga persatuan asas
imani.
Bahkan juga Afghani menyerukan persatuan segenap agama di muka bumi.

e. Seruan kepada gerakan nasionalisme dan mendukung berbagai gerakan
nasionalisme di masing-masing negeri Islam. Demikian dinyatakan oleh
Dr.
Ammarah dan Dr. Taufiq At Thawil.

f. Seruan kepada sosialisme sebagai alternatif model perjuangan
memperbaiki
nasib umat Islam. Demikian Dr. Ahmad Amin dan Dr. Adib Nashur.

(Da'wah Jamaluddin Al Afghani fi Mizanil Islam. Musthafa Fauzi bin
Abdul
Lathief Ghazal halaman 228-269)

Ini semua disertai dengan keterlibatannya yang langsung sebagai anggota
organisasi zionisme Yahudi yang bernama freemasonry. Keanggotaannya
dalam
organisasi Yahudi ini telah diakui oleh segenap penulis yang mengagumi
Al
Afghani.

Gerakan Al Afghani dengan berbagai pemikirannya terus diserukan sampai
hari
ini dan terus dijadikan pijakan pemahaman oleh para penganut
pemikirannya.
Ini adalah salah satu bukti kerusakan yang ditimbulkan oleh para
pemikir
tersebut.

2. Muhammad Abduh, dianggap orang kedua setelah Al Afghani dalam
menyebarkan
dan menumbuhkan kegandrungan dan keberanian berpikir bebas dari segala
keterkaitan dalam memahami agama. Abduh sangat gigih menjadikan akal
pikiran
sebagai poros utama memahami agama. Kecintaan dan kekagumannya kepada
Barat
sangat mewarnai akal pikirannya. Dia berusaha menafsirkan agama dalam
rangka
pembenaran dan pengkultusan apa saja yang ada di Barat. Abduh adalah
seorang
Mu'tazili ekstrem yang sangat gigih memaksakan diri merasionalkan
segala
perkara ghaib dalam agama ini. Dan akhirnya terjatuh pada sikap
penolakan
terhadap perkara ghaib yang tidak bisa dirasionalkan.

Muhammad Abduh menyatakan : "Telah sepakat umat Islam kecuali sedikit
orang
yang tidak terpandang, bahwasannya bila akal bertentangan dengan dalil
naqli
(yakni dalil Al Qur'an dan Al Hadits, pent.) maka yang diambil (yakni
dipilih, pent.) ialah apa yang ditunjukkan oleh persepsi akal. Adapun
terhadap dalil naqli tersebut disikapi dengan dua jalan. Yaitu mengakui
keshahihan riwayatnya disertai pengakuan ketidakmampuan memahaminya,
dan
menyerahkan pengertiannya kepada Allah. Jalan kedua ialah mentakwilkan
(menginterpretasikan) dalil naqli tersebut, dengan tetap memelihara
kaidah
bahasanya kepada makna yang sinkron dan diterima oleh akal." (Al Islam
wan
Nashraniyah. Muhammad Abduh halaman 560)

Demikian proklamasi Abduh, bahwa Al Qur'an dan Al Hadits sebagai sumber
pemahaman agama ini, harus ditundukkan kepada kemauan akal pikiran. Ini
adalah prinsip Mu'tazilah tulen yang kemudian diterapkan sepenuhnya
dalam
memahami segenap berita ghaib dan hadlir[23] dari Al Qur'an dan Al
Hadits.
Yang demikian dapat kita buktikan lebih lanjut pada beberapa keterangan
Abduh sebagai berikut ini. Dia menegaskan tentang pengingkarannya
kepada
wujudnya malaikat Allah sebagai makhluk yang mempunyai jasmani :

"Maka dengan demikian, malaikat dan para setan adalah ruh-ruh yang
berhubungan dengan segenap ruhnya manusia. Maka tidaklah benar bila
dilambangkan malaikat dan setan itu sebagai sosok makhluk yang
mempunyai
jasmani yang kita kenal. Karena bila malaikat itu mempunyai jasmani,
maka ia
akan berhubungan dengan rohani kita melalui jasmani kita. Padahal
kenyataannya kita tidak merasakan adanya sesuatu yang berhubungan
dengan
badan kita, apakah ketika adanya was-was (bisikan) setan atau ketika
adanya
seruan, baik dari malaikat pada jiwa kita. Maka berarti malaikat dan
setan
itu pasti berada di alam yang bukan alam jasmani. Dan wajib atas setiap
Muslimin terhadap ayat yabng semisal ini untuk beriman kepada
kandungannya,
disertai dengan sikap menyerahkan makna sesungguhnya kepada Allah, atau
mengartikan ayat semacam ini kepada makna bahwa ia hanyalah cerita
kiasan,
sedangkan yang dijadikan patokan ialah sesuai dengan hikmah-hikmah yang
diambil dari kisah tersebut."

Demikian Abduh menolak wujud makhluk ghaib malaikat dan jin dengan
mengingkari :

a. Wujud jasmani kedua makhluk ini.

b. Mengartikan berita kedua makhluk ini di Al Qur'an sebagai arti
dlahir.

Jadi berita Al Qur'an tentang kedua makhluk ini harus diimani tetapi
makna
sesunguhnya dari cerita tersebut harus diserahkan kepada Allah karena
tidak
bisa dimengerti oleh akal. Atau dipahami saja cerita itu hanya sebagai
cerita kiasan untuk kita mengambil hikmahnya.

Selanjutnya Abduh menyatakan pengingkaran kepada wujud para malaikat
yang
diberi tugas tertentu oleh Allah dalam mengatur alam ini. Simaklah
pernyataannya :

"Maka segenap alam ini perwujudannya ditegakkan di atas aturan khusus
yang
sempurna dengan kesempurnaan hikmah Ilahi. Ia ditegakkan dengan ruh
Ilahi
yang dinamakan malaikat dalam bahasa syariat. Adapun orang yang tidak
mempedulikan penamaan yang baku[24], dia akan menamakan gejala-gejala
ini
dengan istilah kekuatan alami apabila tidak bisa diketahui pengaturan
di
alam ini, kecuali suatu kenyataan yang berjalan secara alami atau
sebagai
suatu kekuatan yang terlihat realitasnya di alam ini."

Abduh dalam pernyataannya ini mempertegas keyakinannya bahwa alam
berjalan
dengan apa yang dinamakan ruh Ilahi atau dengan istilah lain 'kekuatan
alami'. Sedangkan menurut bahasa syariat dinamakan malaikat. Jadi ini
adalah
semata-mata nama dan bukan makhluk tertentu yang konkrit. Dalam
pernyataannya ini dia menggelari orang-orang yang mengistilahkan
pengaturan
alam ini dengan 'kekuatan alami' sebagai pihak-pihak yang tidak
mempedulikan
penamaan yang baku. Sedangkan kaum Mukminin meyakini bahwa Allah
menugaskan
para malaikat-Nya untuk mengatur alam ini dan meyakini bahwa para
malaikat
itu adalah makhluk Allah yang konkrit, diciptakan dari cahaya, punya
sayap,
dan kekuatan yang dahsyat. Abduh menyindir mereka dengan kata-kata yang
sangat keji. Ia menuliskan demikian :

"Seandainya ada seorang miskin[25] dari para penyembah lafadh-lafadh
itu
yang paling cerdas dan paling bagus ungkapan lisannya, berkeyakinan
dengan
apa yang dikatakan kepadanya bahwa malaikat itu ialah jasmani dari nur
(cahaya) yang memungkinkan untuk membentuk dalam bentuk tertentu.
Kemudian
akalnya berusaha memahami makna jasmani yang tercipta dari cahaya,
(akalnya
akan bertanya) apakah cahaya itu mempunyai partikel yang bisa terjadi
dengannya sosok pribadi yang istimewa tanpa adanya partikel lain yang
sifatnya padat kemudian dengan itu terjadinya perputaran arus, seperti
keadaannya sumbu lentera atau kabel listrik? Dan juga makna cahaya
membentuk
dalam bentuk tertentu itu apakah berarti memungkinkan bagi suatu bentuk
tertentu berubah-ubah dalam berbagai bentuk sesuai yang diinginkan,
bagaimana hal ini terjadi?"

Demikian Abduh menentang kayakinan kaum Mukminin terhadap adanya
makhluk
Allah yang bernama malaikat yang mempunyai jasad diciptakan oleh Allah
dari
cahaya. Dia berusaha menampilkan keyakinan demikian ini sebagai perkara
yang
tidak bisa dimengerti oleh akal, sehingga dengan itulah dia menggelari
kaum
Mukminin yang mempunyai kepercayaan demikian sebagai orang-orang miskin
penyembah lafadh. Atau dengan istilah populer di Indonesia ialah
orang-orang
jumud yang terpaku pada lafadh-lafadh dhahir semata.

Masih banyak lagi kerancuan pemikiran Abduh akibat prinsipnya yang
sangat
mendewakan akal. Semua itu disuguhkan kepada kaum Muslimin dengan
prinsip-prinsip materialisme Barat. Hal ini ditegaskan sendiri oleh
muridnya
yang paling senior dan pengagumnya, yaitu Rasyid Ridla. Dia menyatakan
:
"Aku katakan : Sesungguhnya tujuuan Al Ustadz (Muhammad Abduh) dengan
interpretasi seperti ini (terhadap adanya malaikat dan jin) adalah
untuk
meyakinkan para pengingkar malaikat bahwa mereka itu ada. Tetapi dengan
ungkapan yang kiranya bisa diterima oleh akal mereka." (Segenap uraian
omongan Abduh dan kemudian Rasyid Ridla tentang malaikat dan jin ini
saya
nukilkan dari Tafsir Al Manar, Rasyid Ridla, jilid 1 halaman 267-271,
Tafsir
ayat 34 Surat Al Baqarah)

Sekali lagi ini adalah bukti berikutnya bahaya pemikir yang mengancam
keyakinan kaum Muslimin terhadap agamanya. Bahaya ini akan disadari
bila
kita melihatnya dengan pandangan Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal
Jamaah.

3. Hasan Al Banna, adalah sosok pemikir berikutnya yang sangat populer
sebagai pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin (IM). Dia adalah imam mereka,
bahkan menjulukinya sebagai mujtaddid. Pengaruh pemikirannya
menjangkiti
pemahaman banyak kaum Muslimin di dunia sehingga berbagai fitnah di
kalangan
kaum Muslimin meletus di mana-mana. Berbagai kesesatan yang
ditinggalkan
Hasan Al Banna ialah antara lain sebagaimana yang diterangkan oleh
Syaikh
Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali dalam kitab beliau Al Irhab wa
Atsaruhu 'alal Afrad wal Umam halaman 103-104, sebagai berikut :

a. Hasan Al Banna gandrung dengan akidah At Tafwidl[26] dalam perkara
tauhid
asma' wa shifat. Di samping juga adanya kecenderungan padanya untuk
menganggap enteng perselisihan antara salaf dengan khalaf dalam perkara
aqidah. (Lihat Al Aqaid Hasan Al Banna halaman 74)

b. Dia sangat terpengaruh oleh sebagian thariqat-thariqat sufiyyah[27].
Ia
memuliakan para penganut berbagai thariqat tersebut baik yang masih
hidup
ataupun yang telah mati. Dan ini berlangsung hingga akhir hayatnya.
Thariqat
yang mempengaruhinya dan dia muliakan penganutnya adalah thariqat
Hassafiyah
dan thariqat Marghaniyah. (Lihat Kitab Qafilatul Ikhwan halaman 8 jilid
2)

c. Dia ikut mengerjakan amalan-amalan ahlul bid'ah, yaitu merayakan
maulid
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan juga acara-acara dzikir malam di
hari-hari tertentu. Bahkan ikut mendendangkan kedustaan yang nyata
serta
dosa-dosa yang keji, seperti bait-bait syair :

"Seluruh perasaannya condong kepada kumpulan ini.

Tidak ragu bahwa kekasih kaum telah hadir."

d. Al Banna pula yang menegaskan permusuhan kita kaum Muslimin dengan
Yahudi
bukanlah permusuhan agama. (Lihat Kitab Al Ikhwanul Muslimin Ahdatsun
Shawa
At Tarikh halaman 409)

e. Dia menyerukan baiat kepada dirinya dengan mengesankan besarnya
amalan
baiat ini dan menjadikan baginya sepuluh rukun. (Lihat Risalatut
Ta'alim
Hasan Al Banna halaman 3 dan Al Madkhal li Da'watil Ikhwan, Said Hawa)

f. Dia merusak manhaj dakwah Rabbani ini dengan membuka pintu bagi
siapapun
yang ingin bergabung dengan dakwah dan para da'i walaupun seorang
Rafidli
atau Shufi dan lain-lainnya.

Inilah kerusakan-kerusakan yang telah ditinggalkan Hasan Al Banna (dan
dipegangi oleh segenap orang-orang Ikhwanul Muslimin, pent.) yang sama
sekali tidak diakui oleh syariat Islamiyyah sampai hari ini dan sampai
hari
kiamat."

Demikian Syaikh Zaid Al Madkhali menerangkan dengan disertai
bukti-bukti
otentik dari tulisan-tulisan Hasan Al Banna sendiri.

Dapat Anda lengkapi pula pengetahuan Anda tentang berbagai bid'ah Hasan
Al
Banna dengan apa yang telah saya tulis di Salafy edisi 2 tahun pertama
halaman 15 dengan judul Fitnah Sururiyah Memecah Belah Umat.

4. Abul A'la Al Maududi, tokoh pemikir India dan sekitarnya yang hidup
di
Pakistan dan meninggal di sana. Dia adalah pendiri gerakan Jemaat
Islami
yang tersebar di Pakistan, India, Bangladesh, Srilangka. Dia banyak
melansir
pemikiran Mu'tazilah dalam perkara Aqidah, pemikiran Rafidlah dalam
perkara
shahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan pemikiran liberalisme
demokratisme dalam masalah politik. Abu Abdillah Jamaluddin Furaihan Al
Haritsi dalam ta'liqatnya terhadap keterangan Syaikh Salih bin Fauzan
Al
Fauzan dalam Kitab Al Ajwibah Al Mufidah 'an As'ilah Al Manahij Al
Jadidah
halaman 84 menukil omongan-omongan Al Maududi yang menunjukkan
kecenderungan-kecenderungan pemikirannya.

Al Maududi di dalam kitabnya Rasail wa Masail halaman 577 cetakan tahun
1351
Hijriah berkata : "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dulu pernah
menduga akan keluarnya Dajjal di masa beliau atau dekat dari masaa
beliau.
Akan tetapi telah berlalu masa dengan dugaan ini seribu tiga ratus lima
puluh tahun berabad-abad yang panjang dan Dajjal belum keluar. Maka
dengan
demikian telah pasti bahwa yang diduga Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam
tidak benar."

Dalam kitabnya yang berjudul Arba'atu Musthalahat Al Qur'an Al Asasiyah
halaman 157, Al Maududi mengatakan : "Sesungguhnya Allah yang Maha Suci
telah memerintahkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam surat An
Nashr
agar beliau meminta ampun kepada Tuhannya dari apa yang timbul
daripadanya
berbagai keterbatasan dan kekurangan dalam menunaikan tugas-tugas
kenabian
yang dibebankan kepadanya."

Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsi setelah menukil omongan ini
mengatakan : "Kita berlindung kepada Allah dari tuduhan palsu seperti
ini.
Demikian i'tiqad Maududi tentang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam.
Tampak ia lebih berani mengatakan prinsipnya dari Muhammad Abduh.
Adapun
sikapnya terhadap para shahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
dapat
kita lihat antara lain dalam kitabnya yang berjudul Khilafah dan
Kerajaan
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh seorang Rafidli
bernama
Muhammad Baqir Al Habsyi dan diterbitkan oleh Mizan, Bandung, penerbit
buku-buku Rafidlah.

5. Sayyid Quthb merupakan tokoh kedua dalam Ikhwanul Muslimin setelah
Hasan
Al Banna dan sangat berpengaruh di kalangan mayoritas pemuda harakiyin
hizbiyin. Sayyid mempunyai beberapa keyakinan berbahaya yang dapat
merusakkan keyakinan umat Islam terhadap agamanya. Ia menyatakan
tentang Al
Qur'an : "Al Qur'an adalah makhluk yang nyata sebagaimana bumi dan
langit."
(Fi Dzilalil Qur'an. Sayyid Quthb. Jilid 4 halaman 2328). Padahal
anggapan
bahwa Al Qur'an adalah makhluk merupakan keyakinan kufur dari kalangan
Jahmiyah[28].

Juga Sayyid menyatakan tentang Allah Ta'ala : "Realitas (hakikat) yang
ada
adalah wujud yang satu, maka di alam ini tidak ada realitas kecuali
realitas
(hakikat) Allah. Dan di sana tidak ada wujud hakiki kecuali wujud-Nya.
Perwujudan selain Allah hanyalah sebagai perwujudan yang bersumber dari
perwujudan yang hakiki itu." (Fi Dzilalil Qur'an. Jilid 6 halaman 4002)

Ini adalah keyakinan wihdatul wujud yang diyakini oleh tokoh-tokoh
zindiq
seperti Ibnu Arabi, Al Hallaj, dan lain-lainnya yang meyakini bahwa
Allah
telah menyatu dengan segenap makhluk sehingga wujud ini hanyalah
perwujudan
Allah.

Masih banyak lagi kesesatan Sayyid Quthb yang amat membahayakan
keyakinan
umat Islam terhadap agamanya. Al Ustadz Muhammad As Sewed telah menulis
masalah beberapa penyimpangan Sayyid Quthb ini dalam Salafy edisi 16,
tahun
kedua halaman 20 dengan judul Bahaya Pemikiran Takfir Sayyid Quthb.

6. Muhammad Al Ghazali, pemikir yang cukup dikenal di kalangan anggota
IM
ini sangat mendukung rasionalisme dalam agama. Dia menyatakan : "Perlu
diketahui bahwa segala sesuatu yang ditolak oleh akal (logika) mustahil
diakui sebagai agama ... . Agama yang benar adalah perikemanusiaan yang
benar dan perikemanusiaan yang benar adalah akal yang sesuai dengan
realitas
(hakikat), disinari ilmu, menghancurkan khurafat, dan jauh dari
kekaburan.
Dan kami tegaskan bahwa seluruh keputusan (hukum) ataupun jalan yang
tidak
diterima oleh seorang yang lurus dan tidak didukung fitrah yang bersih
mustahil dianggap agama ... ." (Majalah Ad Daurah Al Qathariyah nomor
101.
Rajab 1404 H. Al Aqlaniyun halaman 64)

Di bagian lain ia mengatakan : "Tidak ada aqidah dalam agama kita ini
dibangun di atas khabar ahad." (As Sunnah An Nabawiyah 66). Pendapat
ini
telah dibantah oleh para ulama (Lihat Majalah Salafy edisi VII rubrik
Aqidah)

7. Yusuf Qardlawi, salah seorang tokoh Ikhwanul Muslimin (IM) yang juga
cukup kental rasionalismenya dalam memahami syariat Islam ini, walaupun
lebih halus dibanding pendahulunya (M. Ghazali). Dr. Yusuf Qardlawi ini
pernah menyatakan : "Termasuk tanda dangkalnya pemahaman seseorang dan
lemahnya bashirah terhadap Dien adalah sibuk membahas masalah perkara
juz'iyyah (cabang) dan meninggalkan persoalan-persoalan yang besar yang
berkaitan dengan kondisi umat. Maka kita dapati mereka hanya membahas
(hukum) memotong jenggot, isbal (memanjangkan pakaian),
menggerak-gerakkan
jari dalam tasyahud atau (bagaimana) hukum fotografi (Lihat Dlaruratul
Ihtimam bis Sunan halaman 24). Bahkan Qardlawi pernah menyatakan bahwa
permusuhan antara Yahudi dan kaum Muslimin bukan dalam perkara aqidah
(Lihat
Jaridah Rayah Al Qathariyah 4696. Al Quthbiyah halaman 59)

8. Muhammad Surur bin Nayif Zainul Abidin, tokoh penting dalam tubuh IM
yang
kemudian karena tidak puas beralih mendalami pemahaman Salafus Shalih.
Namun
dalam sebagian pemikirannya masih terlihat pengaruh Khawarij, terutama
dalam
mensikapi para hukkam (pemerintahan).

Di dalam kitabnya yang berjudul Minhajul Anbiya' fi Da'wah Ilallah juz
1
halaman 8, Muhammad Surur berkata : "Aku lihat di dalam kitab-kitab
aqidah,
maka aku dapati buku-buku itu ditulis bukan pada jaman kita, dan
menempatkan
pemutus perkara terhadap urusan-urusan dan musykilah-musykilah pada
jaman
ditulisnya buku tersebut. Dan untuk jaman kita, musykilah yang ada
membutuhkan penyelesaian baru. Dari sini dipahami uslub kitab-kitab
aqidah
tersebut di dalamnya banyak (unsur-unsur yang) kaku berupa nash-nash
dan
hukum-hukum. Oleh karena itu sebagian besar pemuda barpaling darinya
dan
tidak membutuhkannya!!" (Al Ajwibah Al Mufidah halaman 45)

Syaikh Ali Hasan mengomentari : "Allahu Akbar! Apakah di dalam
nash-nash dan
hukum-hukum itu ada (unsur) yang kaku? Apakah dalil Al Huda dan
penjelasan-penjelasan yang meyakinkan itu, kaku?! Apakah kamu mau
melihat
semisal Kitab Syarah Ushulus Sunnah karya Al Lalikai ada (unsur) yang
kaku?
Apakah kamu dapati di dalam Kitab Asy Syariah karya Al Ajurri ada
sejenis
kekakuan yang memalingkan pemuda darinya? Apakah kamu melihat semisal
Kitab
Al Ibanah karya Ibnu Bathah dan At Tauhid karya Ibnu Khuzaimah dan
Rudud
karya Utsman bin Said ada unsur kekakuan yang menjauhkan seseorang
darinya?
Na'am. Memang yang demikian itu ada benarnya. Tetapi bagi siapa? Bagi
orang
yang tidak paham aqidah kecuali sekedar sikap keras pada para thaghut,
mengkafirkan pimpinan kaum Muslimin dan berpemahaman tauhid Hakimiyah
dengan
pemahaman perasaan." (Ru'yah Waqi'iyah halaman 57)

Demikian tanggapan Syaikh Ali Hasan terhadap ucapan Muhammad Surur
tersebut.
Agar lebih jelas, silakan pembaca menyimak kembali tulisan saya tentang
Muhammad Surur dan gerakannya tersebut pada Majalah Salafy edisi 2
tahun 1
rubrik Mabhats.

9. Hasan At Turabi. Seorang pemikir spiritual di negeri Sudan. Insya
Allah
akan kita ungkapkan berbagai pemikirannya yang menyelisihi As Sunnah
dalam
pembahasan khusus di majalah ini.

PENUTUP

Demikian keadaan para tokoh yang dijadikan ulama dan panutan di tengah
umat
dewasa ini. Dan itu semua hanya sebagian kecil dari corak pemikiran
mereka
yang sesungguhnya. Begitu pula tokoh-tokoh tersebut sesungguhnya masih
banyak sekali.
Allahu Ta'ala A'lam.
[Rubrik Mabhats Salafy Edisi 26/1419 H/1998 M ]

MARAJI' :

1. Al Ajwibah Al Mufidah 'an Asilatil Manahijil Jadidah. Syaikh Shalih
bin
Fauzan bin Abdullah Al Fauzan. Disunting oleh Abu Abdillah bin Furaihan
Al
Harits. Cetakan pertama. Penerbit Darus Salaf. Tahun 1416 H.

2. Al Quthbiyah Hiyal Fitnah Fa'rifuha. Abu Ibrahin bin Sulthan Al
Adnani.
Cetakan kedua. Tahun 1416 H.

3. Al Aqlaniyun Afrahul Mu'tazilatil 'Ashriyun. Syaikh Ali bin Hasan
Abdul
Hamid Al Halabi. Cetakan pertama. Penerbit Maktabatul Ghurabail
Atsariyah.
Tahun 1413 H.

4. Dharuratul Ihtimam bis Sunanin Nabawiyah. Syaikh Abdus Salam bin
Barjas
bin Nashir Ali Abdul Karim. Cetakan pertama. Penerbit Darul Manar.
Tahun
1414 H.

5. Ru'yatun Waqi'atun fil Manahid Da'wah. Cetakan pertama. Penerbit
Darul
Jalalaini. Tahun 1412 H.

6. Al Irhab wa Atsaruhu 'alal Afradi wal Umam. Syaikh Zaid bin Muhammad
bin
Hadi Al Madkhali. Cetakan pertama. Penerbit Darus Sabilil Mukminin.
Tahun
1418 H.

7. Tafsirul Manar. Sayyid Muhammad Rasyid Ridla dan Muhammad Abduh.
Cetakan
kedua. Penerbit Darul Manar. Tahun 1366 H.

8. Majmu'atu Rasailil Imamis Syahid Hasan Al Banna. Penerbit Darusy
Syihab.
Tanpa tahun.

9. Wamaidlun min Warais Sadim. Fuad Al Mahmud. Cetakan pertama.
Penerbit
Maktabatul Manar. Tahun 1393 H.

10. Al Islam wan Nashraniyah ma'al Ilmi wal Madaniyah. Muhammad Abduh.
Cetakan kelima. Penerbit Maktabah Isa Al Bari Al Halabi. Tahun 1357 H.

11. Al Aqaid Hasan Al Banna. Ta'liq dan tahqiq Ridlwan Muhammad
Ridlwan.
Tanpa tahun.

12. As Sunnah An Nabawiyah baina Ahlil Fiqhi wa Ahlis Sunnah. Cetakan
ketiga. Penerbit Darusy Syuruq. Tahun 1989 M.

13. Islam Aktual. Jalaluddin Rahmat. Cetakan ke-9. Penerbit Mizan.
Tahun
1996 M.

14. Pembaharuan Dalam Islam. Prof. Dr. Harun Nasution. Cetakan kedua.
Penerbit Bulan Bintang. Jakarta tahun 1996 M.

15. Kaki Langit Peradaban Islam. Dr. Nurcholis Majid. Cetakan pertama.
Penerbit Paramadina. Jakarta tahun 1997 M.
----------------------------------------------------------------------------
[1] Ilmu kalam adalah termasuk ilmu yang pokok bagi kalangan pemikir.
Karena
itu mereka disamping dinamakan ahlur ra'yi, dinamakan juga ahlul kalam,
pent.

[2] Sangkaan buruk dan berbagai tuduhan kepada Ahlul Hadits ini
sekarang
sering dinamakan dengan studi kritis, pent.

[3] Perkara ta'wil yang dimaksud di sini ialah penafsiran Al Qur'an dan
Al
Hadits dengan akal pikiran semata, pent.

[4] Qiyas adalah salah satu metode pemahaman terhadap Al Qur'an dan Al
Hadits dengan ra'yu. Tentang pengertiannya, silakan baca Salafy edisi
11
hal. 25.

[5] Jahmiyah adalah aliran pemahaman Jahm bin Shafwan. Lihat Salafy
edisi 1
hal. 12.

[6] Mu'tazilah adalah aliran pemahaman yang sangat mengkeramatkan akal.
Lihat Salafy edisi 1 hal. 12.

[7] Qadariyah adalah aliran pemahaman pengingkaran terhadap taqdir.

[8] Shiddiqin ialah mereka yang telah sempurna keimanan mereka terhadap
risalah (ajaran) yang dibawa para Rasul Allah. Maka mereka ini telah
mengerti kebenaran dan meyakininya dengan sepenuh keyakinan, serta
menegakkannya dengan perkataan, perbuataan, keadaan dirinya, dan dakwah
(menyeru manusia) dengan kebenaran itu ke jalan Allah.

[9] Syuhada ialah orang-orang yang berperang di jalan Allah demi untuk
menjunjung tinggi kemuliaan agama Allah dan terbunuh di atas niat yang
demikian.

[10] Shalihin ialah orang-orang yang baik dhahirnya (yang tampak
darinya)
dan bathinnya (yang tersembunyi padanya) sehingga menjadi baiklah
amalan-amalan mereka.

[11] Wara' ialah menahan diri dari apa-apa yang bermudlarat, yaitu
segala
perkara yang haram dan syubhat (yakni yang tersamar antara halal dan
haram).
Karena barangsiapa menjaga dirinya dari syubhat, sungguh dia telah
menjaga
kehormatan dirinya dan agamanya.

[12] Sungguh tercela pemikiran menyamakan tindakan atau ra'yu shahabat
dengan tindakan atau ra'yu para perusak agama yang menggugurkan
sebagian
ajaran agama ini dengan ra'yu-nya dengan alasan tajdid. Lihat Salafy
edisi
XX.

[13] Beliau adalah ulama Ahlul Hadits dari kalangan Tabi'ut Tabi'in.

[14] Juga Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menetapkan lafadz
adzan
dengan mimpi beberapa shahabat, pent.

[15] Yang demikian itu karena sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam
:

"Umatku tidak akan sepakat di atas kesesatan." (pent.)

[16] Sebagaimana firman Allah Ta'ala :

"Dan urusan mereka dimusyawarahkan di kalangan mereka."

[17] Sikap mendua, pent.

[18] Berpemahaman Qadariah yang mengingkari adanya takdir Allah pada
perbuatan manusia.

[19] Yakni penganut pemahaman Rafidlah yang diwarisi dari Abdullah bin
Saba', seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam kemudian menancapkan
pemahaman sesatnya yang berporos pada kultus dan pemuliaan terhadap Ali
bin
Abi Thalib dan Fathimah bintu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
serta
segenap turunannya yang dinamakan Ahlul Bait. Kemudian mencerca Abu
Bakar,
Umar, Utsman, dan segenap shahabat yang berkaitan langsung kedudukannya
sebagai sumber penyampaian Al Qur'an dan Al Hadits.

[20] Studi politis ialah upaya mengesankan kepada umat Islam bahwa para
shahabat Nabi dan segenap tokoh-tokoh Ahlul Hadits serta segenap
karyanya
adalah para tokoh politik yang berambisi politik atau menjalankan misi
politik tertentu. Sehingga karya mereka pun dalam rangka misi para
politikus
tersebut, bukam misi menyampaiakan kebenaran.

[21] Rasionalisasi agama adalah upaya untuk menundukkan agama di bawah
pengkeramatan akal sehingga agama sepenuhnya tunduk kepada kemauan
koreksi
akal masa kini.

[22] Libaralisasi agama adalah upaya untuk memberanikan kaum Muslimin
memahami agamanya dengan bebas dari keharusan merujuk kepada shahabat
Nabi
dan tabi'in. Upaya ini disuguhkan dengan jargon 'membuka pintu ijtihad'
dan
diramu dengan tantangan studi kritis dan menentang kejumudan.

[23] Ghaib ialah segala perkara yang tidak bisa dipastikan
keberadaannya
oleh pancaindera, sedangkan hadlir ialah yang bisa dipastikan
keberadaannya
dengan pancaindera.

[24] Penamaan yang baku ialah nama-nama yang Allah dan Rasul-Nya telah
berikan terhadap makhluk-makhluk itu.

[25] Ungkapan kata 'seorng miskin' dalam bahasa Arab itu dengan konteks
kalimat demikian bermakna orang yang pantas dikasihani. Yang demikian
ini
untuk merendahkan.

[26] Aqidah At Tafwidl ialah keyakinan bahwa ayat-ayat Al Qur'an dan Al
Hadits tentang Asmaul Husna dan sifat-sifat Allah adalah yang tidak
bisa
dimengerti maknanya karena itu diserahkan saja maknanya kepada Allah
Ta'ala.
Ini adalah keyakinan bid'ah.

[27] Thariqat sufiyyah ialah aliran-aliran yang ingin mensucikan
jiwanya
tetapi dengan amalan-amalan bid'ah yang disangka dapat mensucikan jiwa.
Padahal semua bid'ah itu sesat dan semua yang sesat di neraka.

[28] Masalah kekafiran pemahaman bahwa Al Qur'an makhluk telah saya
uraikan
dalam Salafy edisi 2 dan 3 tahun pertama dengan judul Al Qur'an adalah
kalamullah, bukan makhluk.

tokoh ulama